Nina : Unperfect Marriage (2)

3.4K 327 8
                                    

Aku lebih banyak menunduk dan berusaha untuk tidak mencuri pandang ke arahnya, wajah dingin itu pun terlihat enggan menatapku lama. Tapi rupanya organ mataku tak mau berkompromi, meski batinku menjerit melarang. Aku masih saja penasaran apa yang dilakukan pria itu, hingga perlahan aku mengintipnya dari balik bulu mataku.

Mata kami saling bertemu untuk sesaat, aku buru-buru menunduk lagi dengan jantung berdebar keras. Oh, aku ketahuan, ya? Di saat yang sama, ponselku berdering. Oh, alhamdulillah, satu alasan tepat untukku meninggalkan tempat itu, meskipun aku harus menerima pelototan tak terima dari Mama yang pasti menganggapku tak sopan. Meninggalkan acara lamaran itu hanya untuk menerima telepon yang mungkin tidak penting.

Ya, sore ini, seperti yang sudah direncanakan dua minggu lalu, aku akan dilamar secara resmi, di hadapan kedua keluarga besar kami.
Sebenarnya acara lamaran ini hanya untuk formalitas saja. Toh, pada akhirnya memang tak ada alasan untukku menolak lamaran  ini.

Tante Rahma, wanita yang sangat kuhormati, begitu pula keluargaku. Beliau seorang pengusaha batik, sebelumnya Bunda sudah lebih dulu bekerja sama dengan beliau. Sampai suatu ketika, aku dan Bunda mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Tante Rahma lah menolong dan membawa kami ke rumah sakit. Aku kritis, sementara Bunda akhirnya meninggal dunia. Aku benar-benar tak ingat lagi, katanya aku sempat koma dua minggu, dan katanya Tante Rahma juga mendonorkan darahnya untukku. Sejak itulah kami dekat. Dan siapa menyangka, single parents karismatik itu malah melamarku untuk putranya.
Dylan.
Ya, beberapa kali Tante Rahma menyebut nama itu, tapi kenapa tak terbesit sedikit pun di otakku, bahwa Dylan yang dimaksud adalah Dylan Adhiatmaja.

Dylan, aku memang baru dipertemukan oleh Tante Rahma dua minggu yang lalu, yaitu hari di mana Tante Rahma memintaku mempertimbangkan untuk menjadi menantunya.

Dylan? Bahkan memimpikan untuk berteman dekat dengannya pun aku tak pernah berani. Lelaki dengan sorot mata tajam sekaligus dingin itu masih sama seperti pemuda berseragam putih abu-abu tujuh tahun silam yang membuat dadaku berdesir tiap kali namanya disebut.
Aku masih berusia 15 tahun kala itu, baru memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas. Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Hanya saja suatu hari, wajah kaku dan sorot matanya yang dingin serta suaranya yang dalam dan penuh peringatan mencegahku melewati jalan yang ternyata dijadikan tempat untuk tawuran dengan murid sekolah lain. Sejak saat itu, sulit melepaskan gambaran wajah sempurna itu dari benakku.
Oh ya ... jangan lupa reputasi Dylan di masa lalu. Satu dari beberapa murid yang menjadi incaran guru BK sekolah kami. Di ruangan konseling, sering kudapati dia, baik sendiri atau bersama temannya menjadi penghuni tetap dan mendapatkan ceramah gratis dan berbagai hukuman dari Pak Surya.
Saat upacara di hari senin, sering pula kudapati wajahnya—yang manis tapi terlihat dingin dan angkuh di saat bersamaan itu—selalu masuk dalam jajaran murid-murid yang terlambat dan mendapat hukuman. Bahkan pernah beberapa kali aku sengaja terlambat hanya demi melihatnya dari jarak lebih dekat serta membuat kami bersama dalam hukuman kreatif yang selalu diberikan guru BK kami.
Meskipun aku tak pernah benar-benar berani mendekatinya, tetapi harus kuakui, bahwa ialah yang membuat hari-hariku di sekolah menjadi semakin bersemangat. Mengharap pagi untuk segera melihat sosok itu, dan berharap siang tak segera beranjak kecuali dengan semangat keesokan paginya aku akan melihatnya lagi. Saat itu Dylan sudah kelas tiga, hingga amat sebentar sekali rasanya aku menikmati diriku sendiri terjebak dalam cinta satu sisi yang sayangnya amat menyenangkan.

Setelah ia lulus, aku tak pernah melihatnya lagi. Kupikir cinta satu sisi itu akan berakhir tepat ketika ia mulai menghilang dari jarak pandangku. Hanya saja, aku sepertinya salah. Setelahnya, aku bahkan mulai berani membandingkan setiap pria yang mendekatiku dengan dirinya. Hingga aku mulai mengakui bahwa untuk ukuran seorang remaja, aku sudah terlalu dalam jatuh cinta padanya.

“Cakep sih, tapi kenapa kelihatannya dia dingin banget, ya?” seloroh Hani, kakak sepupu yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri, kami dekat satu sama lain.

Pertemuan dengan pihak keluarga Dylan sudah berakhir setengah jam yang lalu, kedua keluarga besar kami memang berkumpul, selain acara lamaran juga membahas tentang resepsi. Menentukan beberapa hal penting dan membentuk panitia kecil.
Aku dan Hani kemudian memilih untuk mengobrol berdua di kamar. Sudah lama rasanya kami tak melakukan sesi curhat seperti ini, sejak menikah tiga bulan lalu, dia memang sibuk dengan suami dan usahanya.
“Emang es?”
“Lebih dingin dari es,” jawabnya lebay,  “eh, kamu udah pernah kencan gitu sama dia? Kayaknya mendadak banget, Nin.”
Aku menatapnya dari cermin meja rias, kemudian menggeleng pelan. Kami bahkan tak pernah saling menelepon atau sms meskipun kami memiliki nomor HP masing-masing. Hanya sesekali dia menanyakan beberapa hal penting. Biasa saja.
“Gila! Dan kalian mau nikah?” Hani berteriak heboh.
Aku nyengir.
Hani kemudian menatapku iba, “Kamu yakin? Bukan karena balas budi? Memangnya kamu suka sama dia? Memang, sih, lumayan juga. Nggak jelek amat lah, dari satu sampai sepuluh aku kasih dia skor tujuh, deh. Kerjaan juga oke, bisalah menjamin masa depan kalian. Tapi ... hello ... nikah nggak cuma butuh itu aja kali ... jangan sampai kamu terpaksa nikah gara-gara mau membalas budi Tante Rahma ya, Nin, aku....”

“Aku suka dia, Han,” ujarku memotong kalimatnya.

Hani menghentikan ocehannya, tapi mulutnya menganga lebar.

“Jangan bilang karena dia ganteng?” Hani memicingkan matanya, nah, bukannya tadi dia bilang nilainya cuma tujuh? Kenapa sekarang jadi bilang ganteng?

“Tapi kalian, kan, baru ketemu beberapa hari yang lalu, gimana kalau dia ternyata sadis, galak, pelit…” lanjutnya lagi.

“Kamu tahu, Han … dia itu Dylan, Dylan-Adhiatmaja.” Kembali aku membungkam mulutnya dengan kalimatku.

Aku sengaja mengeja nama lengkap Dylan dengan pelan. Bisa kulihat dia sedikit berpikir mendengar bagaimana caraku menyebut nama Dylan bukan seperti seseorang yang baru kenal beberapa hari.

“Dia kelas tiga saat aku kelas satu,” lanjutku lagi, berharap Hani menyadari sesuatu. Ia memang tak pernah melihat Dylan sebelumnya, kami berbeda SMA tapi hampir setiap bertemu dengan Hani, aku selalu berceloteh bagaimana seorang Nina remaja begitu memuja Dylan, sang kakak kelas yang bahkan sama sekali tak mengenalnya.

“Yang SMA itu?” Hani sedikit terbata saat mengungkapkannya. Aku mengangguk. Hani menutup mulutnya syok, “Serius?” matanya membulat tak percaya.

Aku mengangguk lagi.

“Ya Allah … serius? Yang itu?” Hani masih tampak tak percaya, oh ya, aku juga hampir tidak percaya bisa bertemu lagi dengannya dan kembali membuka kenangan yang sudah kusimpan rapi.
Aku mengangguk pelan,

“Dia Dylan, lelaki yang membuatku jatuh cinta, tidak pernah ada sebelum dia, pun setelahnya....”

***
Tbc

Unperfect Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang