|D-3|Memori

128 27 4
                                    

" Biarlah namamu selalu tertulis dalam rangkaian kata setiap sajak
yang kuciptakan, dengan begitu kau akan tau bahwa masih ada satu orang yang sama dihatiku ; Kau." - Althea


_••_

Seorang laki-laki berseragam putih dengan celana merah kotak-kotak yang merupakan ciri khas seragam milik SMA Bakti Luhur, duduk diatas rooftop gedung sekolahan.

Titik fokusnya saat ini berada pada liontin perak bertuliskan nama seseorang yang sedang ia pegang. Liontin yang selalu ia bawa kemana-mana, berharap suatu saat nanti akan bertemu dengan pemiliknya lagi.

Pikirannya melambung saat dimana usia nya masih sembilan tahun. Disaat semesta memperkenalkannya pada sesosok gadis cantik yang rambutnya selalu dicocang lipan, gadis si pemilik liontion yang saat ini ia simpan.

Flashback on

Yogyakarta, 24 April 2009.

Genap usia seorang bocah laki-laki bertambah menjadi angka sembilan. Hari dimana semua orang merayakannya dengan aura kebahagian. Tapi tidak dengan bocah laki-laki itu, ia membenci setiap tahun perayaan pertambahan usianya.

Ia ingin seperti teman-teman seusianya yang berceloteh dengan riang memamerkan betapa hebatnya Hero yang mereka punya. Yang selalu menemani mereka saat bermain, yang selalu membelikan mainan saat Heronya pulang selepas bekerja. Atau saat mereka merayakan hari ulang tahun. Dimana sang Hero selalu berada disamping mereka, ikut memadamkan api lilin di atas kue tart, setelahnya berfoto dengan seluruh anggota keluarga.

Bukan seperti dirinya, dia sudah kehilangan malaikat tak bersayapnya saat ia terlahir di dunia yang fana ini. Bahkan Tuhan tidak membiarkannya untuk merasakan kasih sayang ibu yang katanya sepanjang masa. Belum merasakan cinta seorang wanita yang mereka sebut dengan nama 'Ibu'. Bahkan ia tidak sempat merasakan hangat dalam pelukan wanita yang sudah rela mempertaruhkan nyawanya, demi bocah laki-laki itu.

Ia pikir Tuhan sudah merasa puas dengan mengambil malaikatnya saja. Tapi Tuhan juga membiarkannya berada dalam bayang-bayang kesalahan, membuatnya juga tidak merasakan kasih sayang Hero yang teman-temannya banggakan. Dia benci jika harus menyebut pria yang Ibunya cintai dengan sebutan 'Papa'.

Bisa dihitung berapa kali bocah tampan itu berpapasan dengan Heronya dalam setahun. Hanya dua kali. Pertama ketika perayaan ulang tahun kakaknya, Dee, dan hari kematian ibunya. Mereka seperti orang asing yang tinggal dalam satu atap—ralat, sang Hero saja sudah jarang pulang ke tempat yang mereka sebut 'rumah'—berbicara saja tidak pernah, jangankan untuk berbicara, melihat kearahnya saja pria itu tidak mau. Seperti sekarang, pria itu menyuruh semua asisten rumah untuk membuat perayaan ulang tahunnya setiap tahun, tanpa memberikan ucapan selamat padanya.

Saat semua orang sedang menyanyikan lagu ulang tahun padanya, bocah itu malah melarikan diri kearah taman kompleks perumahan. Bi Sum—kepala asisten rumah tanggal mereka ingin mengerjarnya, namun ditahan oleh Dee. Perempuan yang sedang duduk di bangku akhir putih biru itu sangat tau apa yang sedang adiknya perlukan saat ini.

"Hiks ... Hiks ... Mama, Nio kangen sama Mama. Mama gak mau ngucapin selamat ulang tahun ke Nio, ya? Hiks ... Nio pengen ikut Mama." adunya pada sang Mama.

Air mata Nio jatuh membasahi pipi imutnya. Menatap kearah langit seolah berharap awan-awan itu akan membentuk wajah sang Mama.

Taman kompleks perumahan Netherhouse memang selalu sepi jika dihari weekend seperti ini, kebanyakan anak-anak kompleks seusianya pergi menghabiskan akhir pekan mereka bersama keluarga. Hingga membuatnya tak malu untuk menangis karena tak ada orang yang tau agar bisa dijadikan bahan ejekan. Nio juga anak yang jarang keluarga rumah, setiap pulang sekolah ia akan memilih menghabiskan waktunya dengan menggambar, lalu tidur jika sudah merasa lelah.

Daisthisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang