|D-6| Isi Hati

133 18 2
                                    

" kemarilah, mendekatlah, agar ku beritahu, bahwa yang melelahkan itu bukan penantian tapi mengejar tanpa kepastian. " -Althea

_••_

Disepanjang perjalanan menuju rumah. Althea dan Rio diam dalam bisu. Tak ada yang mau membuka mulut untuk memulai percakapan. Althea sepertinya benar-benar marah pada Rio, sudah dua kali dalam sehari mereka bertengkar ditempat yang sama.

Kenapa semua kakaknya egois pada dirinya? Tidak adakah salah satu diantara mereka yang mengerti pada hati kecilnya? Ia juga remaja normal yang menginginkan kehidupan yang juga normal. Normal dalam artian 'bebas' dari sikap posesive dan overprotective keempat kakaknya.

Tidak ada satu remaja laki-laki yang berani mendekati Althea. Mereka bahkan sudah mati kutu duluan melihat tatapan intimidasi yang selalu keempat kakaknya berikan. Gadis itu juga paham bahwa begitulah cara keempat kakaknya menjaga dan menyayanginya. Tapi perempuan mana pun akan merasa terkekang jika selalu diatur dan diawasi tanpa sepengetahuannya. Althea merasa dirinya seperti buronan yang selalu dimata-matai.

Ketika mesin Renger merah itu mati, dan masuk ke dalam carport rumah mereka. Althea langsung turun tanpa menoleh terlebih dulu pada Rio, ia menutup pintu dengan kasar. Air mata yang sedari tadi ia tahan menerobos dinding pertahanannya, jatuh tanpa ada aba-aba dari otaknya. Sampai kapan Althea merasa seperti ini?

Gadis itu menaiki tangga, menghapus setiap air mata yang terjatuh. Bahkan ia tidak menyadari baru saja berpapasan dengan Tezza, langkahnya dipercepat hingga menutup kamar bertuliskan 'Princess room'. Menangis dibalik pintu, biarkan kali ini ia merasa kecewa pada keempat kakak-kakaknya. Biarkan kali ini dirinya marah pada keempat laki-laki dewasa itu.

Tangisannya memelan saat mendengar ketukam pintu dari luar kamarnya.

"Thea, buka pintunya atau kakak dobrak." kali ini ia tidak peduli pada ancaman Tezza. hingga sebuah pesan dari Tezza ia terima.

Kulkas Toshibah dua pintu :
Are you ok, Princess?

Althea hanya membacanya.

Kulkas Toshibah dua pintu :
Please say something to me, darling.
Don't make me angry.

Althea :
Please, jangan ganggu aku.

Kalimat itu yang ia kirim pada sang kakak, namun ketokan terus saja berbunyi. Althea kali ini benar-benar tidak ingin diganggu. Tidak sama sekali. Cukup lama Althea tidak mendengar suara pintunya diketok. Mungkin kakaknya sudah pergi, baguslah. Yang gadis itu butuhkan saat ini adalah kesendirian. Ia naik keatas kasur queen sizenya, menelungkupkan diri dengan bantal guling sebagai sanggahan kepala.

Lihatlah, bahkan langit ikut sedih bersamanya. Hujan deras turun membasahi bumi, untuk menutupi suara tangis yang ia keluarkan, dan luka yang ia alami.

Wangi khas hujan petrichor yang amat ia sukai dan dinginnya angin dari arah balkon yang terbuka membuatnya memasuki alam mimpi dengan damai. Mata indahnya terpejam dengan tenang, membuat siapa saja yang melihat tidak akan mengalihkan padangan kemana pun barang sejenak.

Mendung dilangit biru itu kini telah menghitam menjelma menjadi malam. Dengkuran halus membuat sipemilik kamar belum juga terbangun, seragam yang ia pake dari pagi tadi belum sempat ia lepas, bahkan gadis itu belum makan siang. Kini, ketukan kamarnya kembali terdengar, diluar sudah ada Raymond, Ahron, Tezza, dan Rio. Yang membujuknya untuk keluar, sudah berkali-kali ponsel si pemilik kamar berdering kuat, tapi sama sekali tidak membangunkannya dari tidur panjangnya.

Daisthisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang