Part 2

22 2 2
                                    

Bel pulang berdering lima belas menit yang lalu. Para siswa bergegas keluar dari ruangan, menyisakan ruang-ruang kelas yang mulai tak berpenghuni. Kupastikan kelas tertinggal dalam keadaan rapi. Barisan meja yang lurus dan kursi telah dilipat lalu ditempatkan di atas meja, memastikan AC sudah dalam keadaan mati, serta jendela yang telah tertutup gordennya. Setelah kupastikan semua itu telah selesai, kumatikan lampu neon yang memancarkan cahaya berwarna putih itu, kelas yang di cat berwarna hijau muda menjadi gelap dan sticker wall berbentuk pohon yang menggugurkan daun-daun hijaunya tak nampak lagi. Semua gelap, padam. Kukunci pintu kelas dan merapatkan pagar besi di muka pintu, lalu menggemboknya. Oke, semua sudah aman. Aku pergi ke tempat satpam untuk mengembalikan kunci kelas.

"Sudah, Mas Fachrie?"

"Sudah aman, Pak Anto. Saya pulang duluan, ya!"

"Siap, mas. Hati-hati di jalan,"

Pak Anto adalah seorang satpam dengan wajah tegas dan sedikit garang, tapi sebenarnya hatinya baik serta selalu bersikap ramah. Hanya saja, mungkin perlu pendekatan lebih dalam untuk meluluhkan hati beliau agar bersedia membukakan gerbang setelah lewat pukul jam tujuh pagi. Ah, hal itu tak mungkin terjadi. Beliau adalah seorang pekerja yang disiplin dan taat aturan.

Kuulaskan sebuah senyum sambil mengudarakan tangan kananku sebagai tanda berpamitan.

Jalanan di sore hari memang ramai sekali, jam pulang bagi para pekerja dan para siswa. Di perempatan ini, sering terjadi kemacetan, apalagi jika juru parkir tak hadir.

"Rie!"

"Fachrie!"

Aku menoleh ke segala arah, mencari dari mana sumber suara itu. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku tanpa kuketahui kapan ia berada disana, tepat di sampingku.

"Kamu Fachrie, kan?" Tanya seorang perempuan yang membawa sebuah plastik kecil yang bertuliskan Indomart.

"Oh, ya, ya. Ada yang perlu saya bantu?"

"Bisa tolong aku tidak?"

"Bisa, tapi apa?

"Nanti saja kuceritakan."

Seseorang itu terlihat terburu-buru, panik, terlihat dari wajahnya ia sedang kalut. Seperti tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

"Naik," kataku. Ia menurut. Lalu segera kuinjak bagian gas sepeda motorku, berbalik arah ke sekolah.

"Namaku Farah, kelas sebelas IPS 2. Aku anak paskibra, kami baru saja selesai berlatih," ucapnya, aku hanya mendengarkannya tanpa memberi jawaban karena harus fokus menyetir.

Sesaat kemudian, kami telah memasuki gerbang sekolah. Pak Anto tak ada di pos satpam, mungkin sedang berkeliling dan mengunci ruangan-ruangan kelas. Ku parkirkan motor di pelataran parkir yang tak jauh dari kelasku.

Farah turun dengan terburu-buru, "Terima kasih, Rie,"

"Ya, sama-sama. Apa yang terjadi?"

"Maaf ya tak bisa kujelaskan sekarang, sekali lagi, terima kasih,"

Dia lantas berlari ke arah lapangan upacara tanpa menjawab pertanyaanku. Penasaran apa yang terjadi, akhirnya aku mengikutinya menuju ke lapangan basket. Tak ada seorang pun disana, sepi. Lalu apa yang terjadi?

Seseorang keluar dari sekretariat paskibra.

"Gua beli teh hangat dulu di kantin belakang."

"Tutup, Jar, jam segini, udah mau maghrib,"

"Terus gua beli dimana ini?"

"Warung depan sekolah."

Seseorang itu menaiki motornya dengan segera kemudian berlalu. Farah pun keluar dari ruangan itu masih dengan wajah paniknya. Aku mendekati Farah. "Ada apa?" tanyaku.

"Temanku, tadi sewaktu latihan, dia pingsan. Asmanya kambuh, dan sekarang belum sadar."

"Sudah berapa lama?"

"Sejam yang lalu."

"Sudah dapat penanganan apa?"

"Sudah direbahkan dengan bantal yang tinggi dan dioleskan minyak angin biar nafasnya gak sesak. Ini aku lagi cari kontak saudaranya yang bisa dihubungi."

"Baiklah. Sebelumnya dia pernah begini?"

"Bahkan kami baru tahu kalau dia punya asma." Jawabnya. "Aku perlu kontak Salma Rizkia anak sebelas IPA 1, dia saudaranya. Tapi jam segini pasti dia sudah pulang,"

"Oh, Salma? Aku sekelas sama dia." Aku meraih handphone di saku lalu mencari kontak Salma.

"Syukurlah. Kamu punya kontaknya?"

Kueja dua belas digit angka, lalu Farah segera menghubunginya.

"Terima kasih, Rie," Farah berlalu dari sampingku.

Aku masih mematung, dirundung kebingungan, harus melakukan apa untuk membantu. Lalu sejurus kemudian Farah datang padaku lagi.

"Nggak aktif, Rie,"

"Iyakah?"

Aku terkejut, karena tak ada nomor Salma yang lain di kontakku, dan aku menyimpan semua kontak teman sekelasku serta memastikan bahwa nomor itu aktif.

"Maaf, Farah,"

"Nggak apa Rie, aku balik ke ruangan,"

Aku dan Farah berbagi kegelisahan yang sama. Bingung harus berbuat apa, memikirkan dimana rumah Salma, tapi benar-benar tak tahu karena tak pernah berkunjung. Akhirnya kuputuskan untuk pulang sambil berdoa di sepanjang jalan agar seseorang itu segera sadar dan pulih.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang