BAB 1 (Part 1)

39 4 1
                                    




2014

"Keren! Kamu berhasil terpilih jadi ketua OSIS, Fachrie!" Guntur tiba-tiba saja datang dengan membawa jotosan yang ia daratkan di punggungku.

"Gila lu keren juga bro!"

"Pidato lu dua minggu lalu bikin semua terpana!"

"Selamat...."

Selamat. Selamat. Selamat.

Kata itu begitu mengambil alih pendengaranku, dimana-mana. Sedang aku masih tidak percaya. Entah seperti apa wajahku, melongo dengan mata bulat yang lebar atau wajah tak karuan. Aku segera mengenakan kaca mataku lalu berlari ke sekretariat OSIS setelah sedetik yang lalu bel istirahat berbunyi.

Ruangan sekretariat OSIS itu tak jauh dari kelasku, kelas sebelas IPA 1. Hanya terpisahkan oleh ruang guru, dua deret kelas IPS yang masing masing deret berisi dua kelas, lalu melewati taman-taman yang tak luas, dan ruangan pembayaran SPP yang menghadap ke arah lapangan.

"Selamat ketua OSIS baru!!!!"

Semua orang di dalam ruangan itu menyeruak ke luar, dengan beberapa "polesan" mendarat di kepalaku.

"Kita akan berusaha keras, kan, Pak Ketua?" Tanya Tsaniya yang dua minggu lalu menemaniku berorasi di tengah lapangan basket, hari itu sinar matahari sedang terik-teriknya, ya, dia wakil-ku untuk setahun kepengurusan ke depan.

Aku hanya mengangguk dengan sebuah senyum yang hampir datar. Tak begitu yakin, dilema.

Semua orang sibuk di dalam ruangan itu sedangkan aku masih melamun di muka pintu. Entah apa yang sedang beradu di dalam pikiranku. Semuanya tak karuan. Sebagian besar yang memenuhi ruang di kepalaku adalah, "Benarkah aku akan menjadi ketua OSIS selama satu periode ke depan?" aku tidak yakin, pikirku.

Untuk menenangkan pikiran yang kalut seperti benang kusut ini, kantin menjadi tempat yang tepat. Kerongkongan ini sudah sedari tadi berteriak untuk disegarkan, es teh adalah minuman yang menjelma kewajiban, untuk membasahi kerongkongan yang kekeringan. Melewati UKS dan mading-mading yang diisi oleh karya-karya siswa. Saat di persimpangan jalan, seseorang menyapaku.

"Fachrie!"

"Ya?" Sebisa mungkin kutarik dua sudut bibirku menyamping, untuk menjelma-kan senyuman.

"Kau akan isi mading sekolah dengan karya-karyamu, kan? Ditunggu redaksi jurnalistik, deadline-nya hari Rabu, ya!"

APAAAA... 

Aku terkejut mendengarnya, mulutku terbuka lebar untuk memberikan jawaban yang pada detik itu tak berhasil meluncur, membuat perempuan itu berlalu begitu saja sambil melanjutkan candaan dengan dua temannya.

"Salsa.. Aku belum membuat tulisan satu pun," kata itu menyelos begitu saja hampir tanpa suara.

Bodoh. Fachrie bodoh. Aku terus mengumpat pada diriku sendiri lalu tersadar oleh satu kata.

RABU. Apa? Lusa!!!

Aku semakin kalut, tak ada lagi selera untuk menenggak segelas teh manis dari warung Pak Kajol, warung langganan yang hanya berjarak tiga meter lagi dari tempatku berdiri itu. Aku mematung dan tak tahu arah harus pergi kemana. Terlalu kalut. Akhirnya putar arah dan berjalan cepat ke arah kelas. Aku butuh ketenangan.

Orang-orang yang sedang bermain bola di lahan parkir depan kelasku tiba-tiba saja bubar, berhenti pada permainannya. Mereka menatapku penuh tanda tanya yang tak kupahami. Aku lurus saja tak mengindahkan siapapun. Hingga tepat berada di depan pintu kelas, menaruh sepatu di rak besi yang dicat berwarna hijau tua, lalu memutar kenop pintu kelas, aroma pewangi ruangan dengan wewangian lemon dan udara dingin dari dua unit air conditioner  yang tak jarang rusak dan harus sering diperbaiki.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang