Tanpa Sebuah Kata Pamit

11 3 0
                                    


Aku mengetikkan sebuah kata yang hampir terlupakan.

monokuroboo

Lalu berhasil masuk ke sebuah akun email yang telah cukup lama tak kubuka.

"Mei, aku berhasil! Aku terpilih jadi ketua OSIS di sekolahku. Katanya, waktu itu, kamu akan pindah ke sekolahku kalau aku berhasil jadi ketua OSIS. Bagaimana? Kamu jadi pindah, kan? Hehe."

Setelah kubaca untuk kali kedua, pesan itu terdengar sangat bodoh. Berbicara sendiri. Tanpa jawaban. Penuh harapan.

Pesan itu kukirimkan ke Mei-Lien tiga bulan lalu, namun sepertinya tak ia sentuh sama sekali. Mungkin tidak menarik minatnya untuk membaca.

Aku merebahkan diri di atas kasur yang dingin, terpapar udara AC yang menyala seharian, karena apa? Jelasnya, kulupa mematikan. Jika ada Papa dan Mama di rumah, pasti aku sudah kena semprot, diceramahi bermenit-menit, bahkan sampai sejam.

"Mas, jangan boros energi!"

"Mas jangan lupa matikan AC!"

"Mas, listrik itu mahal bayarnya. Jangan buang-buang uang!" tahukan kalimat ini dari siapa? Tentu. Mama.

"Mas, freon itu berbahaya, bisa membuat lapisan ozon berlubang, kalau ozon berlubang... "

Blablabla

Itu pun kalimat dari Mama.

Beliau mencintai Kimia dan semua hal tentang ilmu itu. Padahal aku tak begitu menyukainya, semua tentang molekul dan struktur yang membuatku pusing. Nama-nama bahannya saja sudah membuatku ogah untuk tahu, apalagi dampak yang bisa disebabkan. Paparan radiasi, bahan kimia yang tumpah ke kulit, dan contoh lainnya. Semua hal tentang kimia adalah sesuatu yang mengerikan. Bahkan setetes asam klorida membuat jeans bolong, namun tentunya bergantung kepekatannya. Tapi bukannya semua itu mengerikan? Mendengarnya saja aku sudah ingin mengibarkan bendera putih. Selalu berbicara mengenai benda-benda tak kasat mata, bahkan kita tak pernah melihatnya. Misalnya apa? Elektron. Kata Mama, ia bergerak, rotasi dan vibrasi. Selanjutnya? Sudah, itu rumit bagiku.

Mama berbeda. Mama menyukainya. Beliau ingin menjadi seseorang yang dapat membuat parfum saat ia masih muda. Cerita itu masih lekat dalam ingatanku, karena setiap malam ia ceritakan dengan bangga saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kini, beliau tak pernah membahasnya lagi.

Aku tak bisa mengerti bagaimana cara berpikirnya, perempuan, rumit. Mencintai kimia, tapi sekarang bekerja dalam sebuah perusahaan penerbitan buku sebagai seorang editor. Apa hubungannya? Perempuan susah ditebak, bukan?

Oh, aku tahu. Mama juga mencintai kata-kata. Aku pernah menemukan buku rahasianya, buku berisi puisi-puisi dengan sampul yang sudah berdebu.

***

Mei belum juga membalas pesanku.

Ia tak menepati janjinya.

Semua itu berkecamuk dalam pikiran. Aku terbangun, gagal melelapkan tubuhku yang kelelahan. Kuraih kembali laptop yang lima belas menit lalu kukatupkan layarnya, membukanya, lalu menatap lamat-lamat layar yang setting-nya terlalu redup.

Pesan itu tak kunjung mendapatkan jawaban. Aku sign out, lalu mulai berpikir untuk menghapusnya.

Aku benci dengan seseorang yang tak menepati janji.

Aku juga benci seseorang yang membuatku jatuh cinta.

Apa? Jatuh cinta. Apa aku jatuh cinta?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang