Pertanyaan yang Tak Mendapat Jawaban

14 2 0
                                    

Sinar mentari menyelinap di antara sela jendela yang masih tertutup gorden berwarna biru tua, menciptakan segaris cahaya putih kekuningan di tembok berwarna biru langit yang berhasil mencuri perhatianku sesaat setelah aku membuka mata. Mataku terkejap-kejap lalu memperhatikan seluruh ruangan yang masih gelap. Tangan kananku berusaha menyusuri seluruh bagian kasur yang nyaman itu mencari sesuatu, handphone, namun tak berhasil kutemui. Kemudian memilih haluan lain untuk menggapain jam beker di atas laci yang di tata di sebelah kanan ranjang. Terlihat jarumnya menunjukkan pukul 06.15 yang membuatku langsung bangkit dari posisi ternyaman itu.

"Aduh, sial, sial. Kesiangan."

Entah mengapa pagi-pagi begini sudah disambut oleh suatu kesialan. Saat kakiku meluncur ke lantai keramik yang dingin, kakiku tepat menginjak handphone kesayangan karena hanya satu-satunya yang aku punya. Terkejut, segera meraih benda hitam itu dan melihat kondisinya, ada sedikit retakan di pojok kanan bagian atas. Aku tak mengerti lagi mengapa ditimpa kesialan di pagi hari dalam satu waktu. Kuhempaskan benda itu ke atas ranjang, membuka gorden jendela, setengah berlari mengambil handuk di belakang pintu, dan...

Zhafran tepat di depan kamarku, membuatku terkejut hampir menabraknya.

"Aduh, lagi ngapain sih, kamu?"

"Mas nggak bangun-bangun, padahal udah kuketuk pintunya dua kali, ini mau kuketuk lagi untuk ketiga kalinya"
"Iya, aku kesiangan," jawabku sambil berlari langsung menuju kamar mandi.

Mandi sekenanya, yang penting ada aroma sabun dan dibilas bersih, tak lupa yang terpenting adalah cuci muka dan gosok gigi.

Hanya dengan durasi tiga menit, selesai. Aku berlari menuju kamar untuk berganti pakaian seragam sekolah. Lalu melangkahkan kaki ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

"Mas, sudah kubuatkan roti selai blueberry, dimakan ya,"

Zhafran duduk dengan setangkup roti di genggamannya.

"Adik terbaik! Terima kasih," kuraih setangkup roti di atas piring kaca berwarna putih.

Entah mengapa Zhafran seperti menahan tawa kemudian berlalu begitu saja, karena saat kugigit...

Roti itu tak berselai blueberry, namun rasa kesukaannya, nanas, dan aku tak suka rasa itu karena entah... Rasanya aneh.

"ZHAFRAAAANNN..." teriakku dengan mulut penuh roti selai nanas.

Aku mengantar adikku ke sekolahnya, SMP Tunas Bangsa. Aku tak mengizinkannya membawa motor hari ini, lebih tepatnya memikirkan bagaimana caranya agar ia tak sering mengendarai motor seorang diri ke sekolahnya karena jalan yang dilalui untuk kesana lumayan ramai di pagi hari. Aku hanya takut terjadi apa-apa, apalagi ia hanya seorang siswa yang baru saja terdaftar di SMP tingkat pertama.

"Mas, harusnya Zhafran berangkat sendiri saja,"

"Jangan bawel. Nanti Mas jemput saat kamu pulang, jam empat, kan?"

"Nggak tahu, mungkin mau main basket dulu,"

"Ya sudah, nanti kabari,"

Zhafran memberiku gerakan hormat seperti yang dilakukan para siswa saat upacara, lalu aku menyuruhnya untuk segera masuk kelas. Kemudian kuputar arah motor ke arah sekolahku yang akan memakan waktu sekitar lima belas menit dari sana, kemungkinan aku akan sampai sekolah pukul tujuh kurang lima belas menit.

Di luar dugaanku, ternyata perjalanannya memakan waktu lebih cepat lima menit dari perkiraanku saat kulihat waktu di arloji lengan kiri sesaat setelah memarkirkan motorku, padahal aku tak melakukan kebut-kebutan. Lalu segera melangkah ke ruang kelas.

Biasanya pada pukul-pukul sekarang, kelas sudah mulai ramai, tapi nyatanya rak sepatu masih kosong, hanya ada sepasang sepatu kets berwarna hitam di tingkat kedua rak sepatu. Aku menaruh sepatuku berdampingan dengan sepatu itu lalu masuk ke ruang kelas. Udara dingin dari AC dan wangi-wangian lemon menyambut kedatanganku, dan seorang perempuan yang duduk di kursinya sambil entah menulis apa.

"Pagi, Salma. Kau sedang apa?" tanyaku sambil menaruh tas di kursi yang bersebrangan darinya.

"Pagi, Fachrie. Bukan apa-apa, aku hanya sedang menulis sesuatu,"

"Hmm,"

Aku mengangguk, sebisa mungkin tak ingin terlalu mencampuri urusan orang lain, atau yang lebih dikenal, kepo.

Kami berbagi beberapa detik keheningan yang sama. Lalu sesuatu yang ingin kutanyakan tak bisa kutunda lagi, mumpung aku ingat.

"Sal, kamu kenal seseorang, perempuan, anak paskibra, nggak?"

"Anak paskibra itu banyak, Rie," jawabnya sambil terkekeh dan masih fokus dengan buku di hadapannya.

Oh, ya, ya, benar. Aku saja yang salah bicara.

"Namanya?" tanya Salma.

Aku tak tahu namanya.

"Oh, sudah, lupakan saja," jawabku sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

Kemudian aku membuka tasku, meraih buku dan kotak pensil.

"Tapi katanya, ia saudaramu," kalimat itu lolos begitu saja, dengan volume yang pasti dapat ia dengar.

Salma berhenti menggerakkan bolpoin di atas bukunya, memandangku beberapa detik, namun hanya terdiam.

"Oh, lupakan. Lupakan saja," bukannya aku tak peduli, hanya lagi-lagi, tak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain. Tapi sebenarnya aku masih sedikit menyimpan rasa penasaran, lebih tepatnya, satu pertanyaan, "Apa yang terjadi?" karena wajah Salma begitu berbeda ketika mendengar kalimatku barusan. Entah, hanya penasaran atau suatu kepedulian.

Selang beberapa menit kemudian, Salma masih tak berkata apapun, tak merespon kalimat terakhir dariku. Entah. Aku pun tak ingin memikirkannya lagi.

Satu persatu siswa memasuki ruang kelas, hingga bel masuk berbunyi. Kulihat seluruh tempat duduk telah berpenghuni, berarti aman. Semua sudah masuk, tanpa ada yang telat.

Bu Chintya, guru matematika datang tepat waktu, sambil membawa beberapa buku paket dan tas laptop di tangan kanan dan kirinya. Dengan kedua tangannya yang membawa barang, beliau terlihat kesusahan untuk menutup pintu, aku segera bangkit untuk membantunya, membawakan buku dan laptop. Beliau menutup pintu kelas, lalu..

"Auuu..."

Terdengar seseorang mengaduh di sana yang sontak membuat semua orang mengalihkan perhatiannya.

"Ah ya ampun, Bayu, maafkan ibu,"

Bayu tersenyum merespon Bu Chintya sambil memegangi tangannya yang baru saja terjepit di pintu kemudian berjalan menuju kursinya. Ia terlihat meringis menahan sakit, membuat beberapa anak yang dilaluinya menepuk lengannya sebagai tanda, tak apa-apa, tidak sakit. Aku pun kembali ke kursiku, sekali melihat Bayu sambil menggeleng tak habis pikir, bisa-bisanya ia telat hampir setiap hari. Lebih hebatnya ia bisa lolos dari penjagaan gerbang yang dijaga Pak Anto dan Pak Budi, seorang guru BK yang terkenal akan kegalakannya oleh para siswa seantero sekolah. Bagaimana caranya, Bay?

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang