Bahasa Hujan

58 5 1
                                    


Sambil menunggu pesanan datang, kuputar bola mataku merekam keadaan sekitar. Jakarta belum berubah. Hiruk pikuk manusia, klakson-klakson kendaraan yang bersahutan dan udara yang kurang bersahabat, tak sejuk dan berdebu. Kupandangi pula kedai cokelat ini, ruangannya sederhana, luasnya pun tak seberapa. Bertembok kayu yang dicat berwarna cokelat tua dengan lampu gantung berbentuk bulat berukuran cukup besar di bagian tengah, memancarkan cahaya kekuningan yang menyinari seisi ruangan. Terdapat empat jendela, dua di sisi kanan dan dua lainnya di kiri. Kedai ini bertema kuno dan tradisional, dengan perabotan-perabotan berbahan kayu,  sangat kontras dengan bangunan di kanan kiri-nya, yaitu butik batik dan toko tas wanita, keduanya ditata se-modern mungkin dengan cahaya putih yang membuat produk-produk di dalam sana seakan ikut bersinar.

Oh belum kuceritakan, bahwa Runi, Seruni Kartika Admadjaya, mengajakku untuk masuk ke bagian dalam. Karena di luar langit tiba-tiba saja mendung. Jika kami duduk di pelataran luar, pasti kami akan turut serta kebasahan karena diguyur air langit.

Terus kupandangi sekeliling, memutar-mutar bola mata, hingga kembali ke titik semula. Wajah seseorang yang tepat di depan mataku. Ia sedang membersihkan kaca matanya dengan tissue.

"Ngapain lu lihat gua begitu?"

Bola matanya yang kukira sedang fokus ke kacamata yang berada di genggamannya, ternyata dapat menangkap gelagatku.

"Nggak. Gua gak lihat lu. Kebetulan aja,"

"Kebetulan apa? Kebetulan lu baru menyadari kecantikan gua?"

Mendengarnya saja sudah berhasil membuatku bergidik, apalagi benar berpikiran seperti itu.

"Permisi, kak, pesanan datang."

Seorang pramusaji datang kemudian memberikan dua gelas berisi minuman cokelat panas dan lemon tea yang terlihat sangat menyegarkan.

"Terima kasih mbak," Kemudian pramusaji itu meninggalkan kami.

"Ah segarnya!"

"Plis, deh, lu kaya gak pernah minum teh aja,"

"Jakarta panas. Kan segar minum es teh begini. Apalagi es teh lemon, kayak ada asam-asamnya,"

"Tapi mendung... Eh hujaann!" Seru Seruni yang membuatku mengalihkan perhatian ke arah luar melewati jendela.

"Plis, deh, lu kaya gak pernah lihat hujan aja,"

"Ih, apaan sih lu, Fachrie. Masih nyebelin aja!"

"Biarin." Aku kembali menyeruput minumanku

Memang cuaca tak pernah mudah ditebak. Padahal sudah ada ramalan cuaca dengan berbekal ilmu dan teknologi, namun tak jarang masih meleset. Panas terik, tiba-tiba langit menggelap lalu hujan. Setelah hujan, kita tak tahu kapan persisnya hujan itu akan berhenti. Tapi biarkan saja, sang hujan sedang melakukan tugasnya, untuk meyegarkan Bumi yang kegerahan.

"Gimana kuliahmu, lancar?"

"Lancar, lancar. Lumayanlah, kemampuanku membuat garis lurus meningkat," Seruni tertawa bangga. "Bagaimana denganmu?"

"Lancar."

Entah. Hanya satu kata itu yang berhasil lolos dari mulutku. Aku terus saja menikmati minuman yang berada di genggamanku. Lancar, semuanya baik-baik saja.

"Lu gak baik aja, Rie,"

Kalimat itu berhasil mencuri perhatianku. Aku berhenti menyedot minumanku, karena ternyata, sial. Sudah habis.

"Lu gak baik aja, sampe lu gak sadar kalo minuman lu udah habis dan lu cuma nyedot-nyedot gelas yang isinya es batu sama potongan lemon,"

Aku terbelalak lalu memandangi gelasku. Spontan mengangkat tangan kanan, "Mbak, maaf, boleh pesan segelas teh lemon lagi?" Kemudian seseorang pramusaji membalas dengan senyuman.

"Lu kenapa sih? Bisa cerita sama gua."

"Nggak apa-apa, semua lancar, Seruni."

Seruni hanya manggut-manggut sambil terus memandangi wajahku. Mungkin dia dapat membaca kebohonganku dengan baik.

Hujan di luar masih saja berhasil menahan manusia-manusia agar tetap berteduh. Genangan air di jalan mulai meninggi, dan arusnya semakin deras. Untungnya, tak ada petir yang hadir. Semuanya baik-baik saja. Jangan salahkan hujan, ia tak salah apa-apa.

"Kimia susah ya, Rie? Gua tau ini sulit, apalagi di luar kemauan lu,"

"Nggak juga. Semua bisa dipelajari, Runi. Semua baik-baik saja,"

"Syukurlah. Lu tahu Rie? Arsitektur bukanlah hal yang mudah, gua cuma tidur dua jam hampir tiap hari, dosen yang tiba-tiba minta tugas dikumpulkan esok harinya. Semua itu bikin gua stress, dan cokelat yang bisa membuatku tenang,"

"Gua juga bingung sama lu, kenapa lu ambil arsitek sedangkan dari dulu lu gak bisa bikin garis lurus?"

"Seenggaknya, itu kemauan gua sendiri, meskipun pilihan kedua,"

"Nggak apa, Runi, Tuhan selalu memiliki takdir terbaik-Nya,"

"Mungkin kedokteran bukan jalan kita berdua, ya, Rie,"

Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Semua akan baik-baik saja, waktu akan mengobati luka. Oh mungkin, aku tidak terluka, hanya saja harus lebih dewasa bahwa tak semua keinginan harus menjadi nyata. Semesta selalu punya jalan terbaik, meskipun tak jarang ia senang bercanda.

"Permisi, kak, ini lemon tea-nya,"

"Terima kasih, mbak,"

Dalam beberapa menit, kami hanya menikmati minuman masing-masing sambil meresapi alunan nada yang diciptakan oleh hujan. Hujan tak pernah berhenti untuk terus jatuh, tak pernahkah ia ingin berbelok arah untuk kembali ke langit, atau pergi ke atas dari tanah ke langit? Apakah ia tak pernah kesakitan meskipun jatuh berulang kali? Oh bahkan, ia selalu berlapang dada, tugasnya hanya memberi keteduhan bagi jiwa-jiwa yang kelelahan dan berharap dapat terlelap meski sekejap. Hujan itu begitu baik, namun mengapa selalu disalahkan akan hadirnya kenangan?

"Bagaimana kabar Zhafran, Rie?"

Oh, Tuhan. Sekali ini saja kuharap hujan segera mereda.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang