Tentang Harapan yang Diudarakan

12 3 0
                                    


Pagi hari ini, peristiwa yang dapat dihitung jari terjadi lagi, untuk menggenapi sepuluh jari pada kedua tangan, mungkin. Kulupa genapnya untuk kali keberapa, hanya saja peristiwa-peristiwa seperti ini selalu aku syukuri. Sabtu ini tanggal merah, berhasil mengumpulkan kami berempat bercengkrama di atas satu meja makan yang sama.

"Ayo makan jagoan-jagoanku! Mama ambilkan nasinya, ya, kalian berdua harus makan yang banyak!"

Mama begitu bersemangat memenuhi piring-piring di hadapanku dan Zhafran dengan nasi beserta lauk pauknya, rendang, kentang sambal goreng, tumis brokoli dan kerupuk.

Aku mengembalikan kerupuk itu ke tempatnya.

"Aku nggak suka kerupuk," pungkasku.

"Oh, ya, ya. Maafkan Mama, Fachrie-ku yang ganteng!"

Kalimat Mama barusan tak membuat hidungku mengudara sama sekali, hanya hadirkan sebuah senyuman yang kupaksakan.

"Kamu, Zhafran, si imut-nya Mama juga harus makan yang banyak, ya!"

Zhafran menyambut semua pemberian Mama dengan riang, tak ada yang ia tolak, satupun. Ia selalu jujur terhadap hatinya, semua yang ia rasakan dapat terpancar dari mata dan gerak-geriknya. Tapi, tidak denganku. Entah mengapa, aku begitu sering keliru untuk mengekspresikan sesuatu, hingga membuat beberapa orang menilaiku bahwa aku adalah seseorang yang dingin, meski aku tak begitu mempedulikannya.

"Fachrie, sayang. Mama tak tahu mengapa kamu memiliki sikap yang dingin, bukan hanya ke Mama, tapi Mama tahu kamu melakukan hal serupa pada orang lain. Kamu bisa perbaiki sikapmu agar lebih hangat, ya, karena sebenarnya hatimu sangat hangat, Mama tahu itu,"

Kalimat itu yang selalu menjadi penghantar tidurku di malam-malam tahun kemarin. Saat Mama selalu pulang larut malam, terlambat mengucapkan selamat malam untuk anak-anaknya, karena keduanya sudah terlebih dahulu tidur. Tapi setidaknya, beliau tak lupa. Itu yang selalu aku hargai. Di sisi lain, setiap setelah Mama memadamkan lampu yang lupa aku matikan, lalu menutup pintu, mataku selalu kembali terbuka, mencerna dan memaknai kalimat-kalimat Mama itu. Tapi, aku tak ingin begitu memikirkannya.

Aku ingin sekali meledakkan sesuatu yang begitu menyayatku setiap hari, rasanya sakit sekali memendamnya, seakan ia bisa saja meledakkan diri kapanpun di luar kendaliku. "Ma, Mama tak pernah melihat Mama-Mama yang lain selalu menemani anak-anaknya? Mendengarkan keluh kesahnya, bahkan hanya berbagi lelucon-lelucon yang tak lucu, namun selalu berhasil membuat mereka tertawa bersama. Mama tak ingin seperti itu, Ma? Atau memang Mama tak ingin tertawa bersamaku? Saling bertukar cerita bahkan yang sama sekali tak penting,"

Namun kemudian aku tersadar, jika kalimat itu berhasil meledak, itu pasti akan menyakiti hatinya, dan aku tak mau membuatnya terluka, sungguh. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika aku adalah alasan yang membuatnya menitikkan air mata.

"Fachrie, nak, kamu sakit?"

Kalimat tanya dari Mama membuat lamunanku pecah.

"Dari tadi kamu hanya memegangi sendok dan garpu sambil melihat makananmu tanpa kamu sentuh," ucap Papa.

Oh, benarkah? Selama apa?

"Lihat, Mas, Zhafran sudah makan ronde kedua,"

Zhafran memperlihatkan piringnya yang baru saja diisi ulang membuat Mama dan Papa tertawa melihat kelakuan anak bungsunya itu.

Zhafran selalu berhasil membuat suasana di antara kami menjadi menyenangkan, terkadang aku begitu iri padanya.

Aku mulai memasukkan potongan daging rendang pertama ke mulutku, disusul dengan sesuap nasi yang tak memenuhi sendok stainless steel yang berada dalam genggamanku.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang