Lemon Tea

63 4 1
                                    


"Lima menit lagi gua sampai," sent.

Entah apa mimik wajah yang ditampilkan oleh seseorang yang sedang menungguku sekarang. Mungkin cemberut, kelewat bete, kelewat jenuh, atau bahkan senyumnya kini volatil.

Ah kenapa tadi harus ada drama ban bus bocor segala.

Aku terus berlari sambil memandangi layar ponsel dan mengecek whatsapp yang hanya bercentang dua tanpa terbaca. Menaruhnya di kantong, lalu membenarkan kancing lengan kemeja. Semoga dia tidak marah, maafkan aku.

Aku melihatnya sedang duduk di pelataran luar kedai minuman cokelat, dengan wajah datar dan tangan kanan yang menumpu wajahnya. Ia terlihat memutar-mutar sedotannya ke dalam gelas yang berisi seperempat mimuman berwarna cokelat. Mungkin coklat panasnya telah dingin. Ia tampak lelah, bahkan kecewa.

Sial, hari ini hari senin, jalan yang akan kulewati begitu ramai. Pukul lima adalah waktu yang tepat untuk para pekerja kembali ke surganya, rumah.

Hingga tepat lampu merah menyala, aku langsung berlari melewati zebra cross dan sialnya lagi, tali sepatu yang entah dari kapan terlepas, berhasil membuatku terjatuh tepat di depan kedai cokelat yang tak begitu ramai itu. Beberapa orang terbelalak, memperhatikanku, kemudian mengindahkan. Lalu ada seseorang yang berdiri dan langkah kakinya terdengar semakin dekat. Seseorang dengan celana jeans putih tulang dan sepatu converse berwarna hitam.

"Bangun, lu lagi ngapain, sih?"

Ia mengulurkan tangannya tepat di depan wajahku, saat aku hendak meraihnya...

"Bodohmu tak pernah luntur ya, Rie, harusnya lu lebih pintar dariku sekarang!" Oloknya sambil memoles kepalaku.
"Aduuh.."

Aku bangkit dengan kakiku sendiri.

"Isengmu juga masih utuh, menyebalkan! Lu cewek, harusnya bisa lebih anggun sekarang. Membantu teman yang sedang kesusahan apa susahnya, sih?"

"Bangun sendiri aja susah, ya? Nggak usah kaya sinetron, deh."

Lalu ia duduk di tempat semula. Menghabiskan sisa cokelatnya lalu memberiku buku menu.

"Lihat, udah abis segelas nih gua nungguin lu, lama banget sih. Sekarang lu mau pesan apa? Gua mau cokelat dingin aja."

"Tumben suka dingin."

Aku menerima buku menu lalu membuka setiap lembarnya. Menu-menu cokelat, minuman dan makanan cokelat. Roti bakar, Kue cokelat, dan beraneka makanan lainnya. Cokelat original panas, cokelat original dingin, cokelat hazelnut, cokelat Itali, dan sebagainya dalam menu minuman.

"Kok cokelat semua?" Pertanyaan itu terlepas begitu saja.

"Hei! Ini kedai cokelat ya. Lu kira ini kedai batagor?"

"Tapi kan,"

"Lu masih aja gak suka cokelat? Apa salahnya sih cokelat ke lu sampe lu benci banget ke dia?"

"Gua gak benci, cuma gak suka yang terlalu manis aja."

Akhirnya aku menemukan spesies minuman lain di lembar terakhir, lemon tea.

"Gua lemon tea aja, satu,"

"Eh? Emang ada minuman lain ya selain cokelat?"

Lawan bicaraku terkejut saat ia menarik paksa buku itu dari tanganku.

"Wah benar. Tidak percaya. Gua baru tau, padahal hampir tiap minggu kesini."

Kemudian ia memanggil seorang pramusaji untuk mendekat dan menulis pesanan.

"Mbak, tolong cokelat dingin satu dan lemon tea satu ya,"

"Baik, kak, tunggu sebentar ya,"

Lalu pramusaji itu meninggalkan kami.

"Masih aja, ya, pelarian lu ke cokelat."

"Cokelat itu menenangkan. Lalu kenapa lu menyukai yang masam?"

"Biasa saja. Gua cuma lebih menyukai yang seimbang. Lemon tea itu seimbang, antara manis dan masam. Gua suka, meskipun gak begitu."

Seseorang di depanku menggeleng tak mengerti, kemudian mengangguk sekali sebagai tanda terpaksa memahami.

"Lu memang gak gampang dimengerti, sejak dulu. Belum berubah." Katanya sambil memutar sedotan di dalam gelas yang telah kosong di hadapannya.

BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang