"A-aduh," gumam Serin yang baru saja terduduk jatuh. Kepalanya langsung mendongak dan mendapati siapa baru saja ditabraknya. Ia Serin akui kalau itu memang kesalahannya. Tapi dia .... "E-eh?"
Fian yang ada di hadapan Serin sudah mengulurkan tangannya. Membantu gadis itu terbangun dari posisinya. Sebab, Fian yakin kalau beberapa orang mulai melirik ke arah mereka.
Terlebih, mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum yang tepat ada di seberang mereka dan orang-orang yang berada di lapangan mengingat ada dua acara sekaligus yang dilaksanakan.
Merasa tak enak melihat tangan Fian yang terulur sedari tadi, Serin buru-buru menyambut bantuan cowok itu. Setelah berdiri, mereka bergegas menaiki tangga menuju salah satu gedung yang dimiliki fakultas mereka.
Mencoba menghindar dari keramaian yang seolah menusuk.
Di atas sana, mereka menyandarkan diri di pagar pembatas. Masih bisa terlihat tempat mereka bertabrakan tadi, dan ya ... atmosfer di sini benar-benar canggung.
Serin jadi benci mengakui kenyataan kalau berbicara dalam ruang obrolan daring lebih mudah dibanding dunia nyata. Bukan artinya dia anti-sosial, hanya saja ... ya, entahlah. Ia hanya benci kalau harus bicara sementara detak jantungnya tak bisa senormal saat ia berbicara dengan Regi atau Laila.
Untuk sesaat mereka terdiam. Karena pada dasarnya mereka ingin menyampaikan sesuatu. Hanya saja tertimbun dalam diri masing-masing.
Sampai, Fian membuka suaranya. "Tadi kenapa?"
Serin terdiam cukup lama, berpikir sejenak karena hal yang ingin ia katakan bukanlah hal yang rumit. Sampai akhirnya Serin menjawab, "Enggak kenapa-napa," jawabnya disertai gelengan lemah.
Tapi Fian tahu kalau Serin menyembunyikan sesuatu. Rasanya sesuatu dalam dirinya ingin mendesak gadis itu, tapi ia tahu kalau itu tidak boleh dilakukan. Karena Serin ....
"Sebenarnya cuma lagi kesel, sih." Serin tiba-tiba berbicara lagi, membuat Fian menoleh ke arah gadis itu. "Tadinya nunggu temen."
Fian mengernyitkan dahinya, mencerna kalimat Serin yang perasaan terdengar berantakan. Iya, memang. Tapi sepertinya .... "Kesel sama temen?"
Serin mengangguk, sedetik kemudian ia menggeleng. Duh, apa-apaan sih cewek satu ini. Tapi ya, ini memang Serin.
"Pffft." Fian menahan tawanya.
"Lah, malah ketawa," protes Serin ambil menatap tajam ke arah Fian.
"Hahahaha, makanya kalau ngomong yang jel-oke, maaf hehe." Fian menghentikan tawanya, lalu tersenyum kikuk melihat tatapan Serin yang tertuju pada dirinya. Ya, hei, ia tidak salah, bukan? Toh, memang sejak tadi hanya mereka yang berbicara. "Jadi?"
Serin menghela napasnya panjang. Halah, kenapa Serin tak pernah berpikir kalau cowok ini aslinya cukup heboh dan ya, seharusnya atmosfer tadi itu tidak ada kalau ia tahu sifat Fian yang seperti ini. Kayak anak kecil-chat-nya juga begitu sih walau sedikit berbeda.
"Tadi lagi nunggu temen buat ke festival itu," kata Serin sambil menunjuk deretan stand di ujung lapangan. Itu acara yang dibuat oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Jepang. "Tapi dia tadi telepon malah sakit."
Serin tiba-tiba menyadari ucapannya sebelum akhirnya ia membekap mulutnya sendiri. Keceplosan, kalau begini ketahuan banget wibu-nya. Duh, enggak lucu meski Serin tahu kalau Fian juga cukup menyukai hal itu.
"Gak usah dibekep juga mulutnya," kata Fian, di akhir ia terkekeh sejenak. "Lagian enggak masalah cuma dateng ke event gitu. Malu atau gimana?"
Ya ampun, Serin tidak habis pikir bagaimana cowok ini bisa langsung bicara dan menanyakan rasa malu dengan lantangnya. Tapi, kalau dipikir-pikir benar juga ya. Lagi pula Serin sejak dulu telah berjanji kalau ia akan menjadi diri sendiri meskipun-
Gak usah lebay nahan-nahan, dasarnya lo suka yang kayak gitu, mau gimana lagi?
Jadi, janji ya kalau lo harus ....
"Serin," panggil Fian.
Serin terdiam, ia terdiam karena sesuatu melintasi kepalanya begitu saja. Berlangsung cepat dan berlalu begitu saja. Tapi rasanya, ini bukanlah hal yang asing. Hanya saja ....
Serin
"Serin." Fian menepukkan tangannya sekali di depan wajah Serin.
Gadis itu tersadar. Pandangannya terasa memburam padahal ia masih pakai kacamata. Dengan cepat, ia mengerjap.
"Kenapa nangis?" tanya Fian membuat Serin bergerak mundur-tak sampai selangkah besar.
Serin menyentuh mata dan pipinya, mendapati sesuatu yang basah di tangannya. "Eh?"
Fian membuang napasnya panjang. "Bukannya 'eh'. Tapi kenapa?"
Serin tak tahu itu, yang ia tahu tadi dirinya tanpa sadar melamun dan mendengarkan suara seseorang yang berjanji dengannya. Hanya itu, dan rasanya hanya sesaat. Namun, ia sendiri tak mengerti mengapa air mata itu tak ia sadari kehadirannya.
"Mungkin karena inget sesuatu aja," gumam Serin hampir tak terdengar.
Fian terdiam sesaat setelah Serin berkata demikian. Baru kemudian berkata, "Kalau enggak keberatan aku mau anter. Kayaknya kamu enggak suka tempat rame banget meski isinya satu otak sama kamu."
"Eh?"
"Bukannya 'eh'! Mau dianter enggak, sih?"
Raut wajah Serin perlahan-lahan berubah. Rasanya ia sudah tidak peduli lagi pada rasa canggung yang biasa mendekap dirinya. Ia terlalu senang untuk mengingat ha-hal tak berguna itu dan sekarang hanya mengangguk penuh semangat di hadapan Fian.
Sementara itu, debaran yang bercampur rasa takut terus memenuhi rongga dada cowok itu. Rasanya, apa yang ia perkirakan sebelumnya tidak sesuai. Rasanya semakin menyakitkan.
Ah, memangnya sejak kapan?
***
Bogor, 28 November 2018
Niiiiiiiicht!Malem banget ini, yang penting masih masuk minggu ke 2 kalau dihitung dari tanggal 15. Ya, kuharap ke depannya enggak setelat ini. Sekian cuap-cuapnya mengingat saya juga ngantuk. Semoga suka, see ya~
Regards
Nari
KAMU SEDANG MEMBACA
Background Music
Teen Fiction*** Semua berawal dari keinginan Serin untuk mengikuti lomba sing cover di instagram. Karena tak mempunyai instrumennya, Serin nekad menghubungi Fian―mantan teman ospeknya yang kebetulan pandai bermain gitar. Tak disangka, Fian menyanggupi perminta...