BGM 11

135 16 34
                                    

"Kita gak pernah diizinin sebelumnya," gumam Fian dengan suara bergetar.

Serin terdiam mendengar apa yang dituturkan oleh laki-laki yang ada di hadapannya. Ia tidak bisa mencerna apa maksud ucapan Fian. Tidak diizinkan? Oleh siapa? Kenapa?

"Lalu, kalau kalian tahu aku hilang ingatan? Kenapa tadi bersikap seolah ...." Ucapan Serin terhenti.

Ia sadar kalau hal itu seharusnya bisa membuatnya lebih berharga mengingat tak ada yang mempersalahkan ingatannya meski ia melupakannya. Tapi, entah kenapa rasanya malah menyakitkan saat orang-orang ini menyambut sementara ia tak tahu apa-apa.

"Maaf, ya ...." Helen angkat bicara. "Kupikir pas tadi kamu masuk sini bareng Fian dan yang lain karena udah inget lagi. Terlebih, kamu pakai seragam SMA dan bikin lupa kalau kita udah makin dewasa."

Serin melirik ke arah seragam putih abunya. Perlahan, air mata yang sebelumnya seolah mengering kembali ke luar saat ia melihat bekas goresan pulpen ada di atas rok-nya. Seandainya ia ingat .... Seandainya ia bisa mengingat semua kenangan yang berharga di balik seragam ini. Namun, pada akhirnya tetap saja hal ini seolah terus membawanya pada hal menyakitkan.

Hal konyol yang seharusnya tidak merusak kenangan masa mudanya. Kenangan bersama orang-orang ini. Kenangan bersama ...

Mata Serin langsung menatap ke arah Fian yang entah kenapa tengah tertunduk. Seperti ... ada yang salah. Perasaannya mengatakan hal itu. Rasanya ....

"Serin!" pekik yang lain saat Serin tiba-tiba sudah mencengkram seragam Fian erat-erat. Membuat sang empu yang sebelumnya tertunduk mendongak kaget dibuatnya. Namun ia tak bisa melakukan apapun. Sosok di hadapannya ....

"Tadi kamu yang bilang kalau kalian nggak pernah diizinin, kan?!" ujar Serin dengan mata menusuk ke arah Fian. Mengintimidasi sekaligus mempertanyakan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.

Yang lain langsung mencoba melepaskan cengkraman Serin itu. Namun, tidak semudah yang mereka duga. Cengkraman Serin begitu kuat.

"Kamu yang bilang nggak diizinin, tapi kamu malah bersikap seolah enggak peduli sama izin sialan itu. Lalu bantuin aku bikin coveran lagu beberapa waktu lalu dan kemarin-kemarin ngajak aku bikin coveran lagi?!" pekik Serin.

Suasana mendadak gaduh. Bagas buru-buru menutup pintu yang terhubung dengan ruangan luar mengingat mereka bisa saja diusir kalau membuat keributan seperti ini.

"Lantas kenapa sekarang bersikap seolah nyerah gitu aja?!"

Napas Serin seolah memburu. Tangan yang sebelumnya tengah mencengkram kerah Fian mengendur. Turun ke arah tangan cowok itu yang ada di bawah.

Hatinya masih mempertanyakan. Kalau sudah lupa, kenapa harus dikembalikan? Kalau sudah lupa, semua akan tetap berjalan, bukan? Tapi kenapa?

Sementara itu, Fian masih bergelut dengan segala macam pikiran dalam benaknya. Kalau ditanya kenapa? Karena ia ingin Serin kembali dengan ingatannya. Dan, kalau masih ditanya kenapa Serin harus ingat? Tentu saja karena ...

"Rin, beres UNBK nanti kalo ada event lagi ikutan, ya! Kalo kita menang gue mau ngasih hadiah!"

Ah, egois.

Ya, kenyataannya masih ada harapan yang dibalut kata janji dalam benaknya. Masih ada serpihan yang belum pernah ia sampaikan sejak dahulu.

Dan ia hanya ingin menyampaikannya.

"Jangan ngaco. Hadiah apaan, gaya banget sih."

Hanya ada kekehan kecil yang seolah anggukan pertanda ya saat itu. Dan, ia hanya bisa tersenyum tanpa membalas lagi.

"Laaah, lo serem ih kalo senyum kayak gitu!"

"Terus senyum yang gimana?"

"Yang biasa itu, tuh. Yang resenya gak ketulungan tapi sok kalem gi―"

"Beres event baru, ya!"

"Dih, apa banget, deh."

Tanpa Fian sadari. Serin sudah menggenggam erat kedua tangannya. Membuat pandangannya kembali sendu setelah sebelumnya tenggelam dalam lamunan kecil penuh kehangatan.

"Kalau lo emang suka ngelakuin hal itu, gak usah ditahan ...." Sepintas, ucapan Serin membuat Fian teringat akan sesuatu. "Lo udah jalan, lo enggak boleh nyerah dan kabur gitu aja."

Deg

"Lo yang mulai semua ini, lo yang ngelanggar izin sialan yang entah punya siapa itu. Tapi jangan berhenti gitu aja seolah hal yang lo lakuin itu salah!"

Salah? Batin Fian bertanya. Sejak awal tidak ada yang salah. Ya, ia hanya ingin mewujudkan janjinya. Karena yang salah itu adalah mengingkarinya. Juga, soal ingatan Serin. Semuanya ... ia, ia ....

Grep

Fian langsung menarik Serin dalam dekapannya. Membuat gadis itu membelalakan mata seketika. Mempertanyakan kehangatan apa yang baru saja menyambar tubuhnya.

.... ia hanya tahu kalau sesuatu dalam dirinya bilang demikian.

Ingatan Serin harus kembali.

***

Bogor, 14 Januari 2019

Makin awut-awutan aja ke sininya 😂😂😂 Maafkan kalau begitu. Tapi ya, semoga masih betah dan semoga suka! Nanti ada waktunya buat revisian yang entah kapan. See you~

Regards

Nari

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Background MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang