"Gue enggak nyangka kalau lo akhirnya yang nurut pakai baju itu, Rin," oceh Regi saat mendapati Serin yang sudah pakai seragam SMA.
Hatinya sudah tergelak meskipun ada rasa bersalah saat melihat wajah gadis yang tengah ditekuk itu. Sementara Regi sendiri? Sudah pasti ia tidak serius dengan ocehannnya waktu itu di WA. Maksudnya, Regi tidak pernah menyangka kalau akhirnya Serin akan memakai pakaian itu dengan polosnya setelah sebelumnyaia yang mengoceh kalau ide ini gila.
Tapi lihat? Ya Tuhan.
"Ahahaha, sumpah gue enggak kuat lagi nahanini, Seriiin," oceh Regi sambil setengah tertawa.
Sementara Laila yang tengah bersandar di pinggir gerbang restoran—omong-omong restorannya berbentuk rumah bertingkat dua--yang hendak mereka kunjungi tengah memalingkan wajahnya. Siapapun juga tahu kalau Laila tengah menahan tawanya.
"Demi apapun, gue benci sama kalian," oceh Serin yang wajahnya semakin padam.
Serin juga bingung kenapa tadi pag sebelum berangkat ia malah menyetrika baju ini. Lantas berangkat begitu saja. Ditambah, mama tak bicara apapun padanya padahal tadi mama tahu kalau Serin tengah menyertrika baju putih abu di dekatnya.
"Gue malu sumpah," kata Serin. "Lo juga pake ngebahas baju ini segala kemaren. Jadi—"
Regi buru-buru menyela, "Kemaren lo udah bilang kalau ini gila, jadi gue juga mikir dua kali buat pake seragam itu."
"Tapi kan ...." Serin mencoba membela diri. Namun, tetap saja ia tak menemukan sesuatu yang patut ia jadikan alasan. Rebus saja otaknya—tidak, itu akan lebih parah lagi. Pada akhirnya Serin hanya bisa mengembuskan napasnya kasar.
Regi kini menyelidik Serin dari atas sampai ke bawah. "Lagian cocok, gak akan ketahuan kalo Lo itu anak kuliah semester tiga, kok."
"Masalahnya bukan gitu, Regiiiiii!"
"Lagian, Lo mikirin apa sampai kejadian pake baju ini?" tanya Laila tiba-tiba. "Soalnya, kalo Lo enggak mikirin sesuatu, enggak akan kayak gini. Ya kali lo mikirin seragam lo terus. Udah berapa tahun lulus?"
Laila sialan. Rasanya Serin ingin membekap mulutnya yang satu itu. Namun, apa daya, apa yang dikatakan Laila barusan memang benar.
Serin memikirkan seragam itu setelah menyangkutpautkannya dengan nama Fian yang tertulis di salah satu buku SMA miliknya.
"Ya udah, sekarang mau gimana lagi? Mau balik ke kosan gue uat ganti baju?" taWAR Regi pada Serin.
Habisnya kosan Regi hanya beda jalan saja dengan restoran ini. Tapi....
"Masalahnya badan Serin itu seuprit, gak mungkin pake baju punya lo, Reg," cetus Laila.
Iya, memang itu yang paling sulit. Serin punya badan yang terhitung kecil dengan berat badan yang ya, punya selisih 11 kilogram dengan Regi.
"Lagian gak ada anak kelas kita ini kok di sana, santai," kata Regi mencoba menenangkan Serin.
Dasarnya mulut yang gampang bicara. Masalahnya yang menanggung malu Serin itu bukan mulut Regi. Tapi ya Serin sendiri.
"Tenang aja, Serin," tekan Laila.
Ya, kalau tidak segera masuk kapan tugas dan makan mereka akan dimulai.
Serin lagi-lagi mengembuskan napasnya. Ia menyerah.
"Oke, deh!" putusnya sambil berjalan masuk—walau masih dengan wajah cemberutnya.
"Paling mbak sama mas-nya cengo liat lo, Rin, hahaha."
"Regi bangke!"
***
Gue sama Nat udah di lantai dua, Fi. Bagas sama Adit udah di bawah katanya. Lo di mana?
Pesan masuk membuat grup chat lama Fian kembali naik. Sekilas ia membaca isinya, ia langsung mengunci motor miliknya. Ia, Fian sedang ada di parkiran yang letaknya ada di sebelah dapur milik restoran ini.
Tempatnya di belakang dan melewati dua gerbang. Gerbang utama dan gerbang kecil di kiri yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Pemilik restoran rumahan ini pernah bilang kalau cara ini lebih aman mengingat daerah ini cukup rawan akan pencurian. Ramai dilewati, di sisi lain sepi. Padahal restoran ini tersambung dengan gedung B Fakultas di mana Fian menempuh pendidikannya.
Ini di parkiran, gue udah liat Bagas sama Adit dari jendela, kok. Lantai duanya tempat biasa, kan?
Setelah mengirim pesannya. Fian buru-buru berjalan menuju halaman depan dekat gerbang utama tadi. Dan di situ, langkahnya terhenti oleh sosok seseorang yang rasanya ... seperti membawanya dengan mesin waktu. Dan hal itu, membuat dadanya berdebar kencang.
Antara rasa takut ... dan hal lain yang bercampur menjadi satu.
Dan sosok itu ... Serin.
Pakai seragam SMA lamanya.
***
Bogor, 25 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Background Music
Teen Fiction*** Semua berawal dari keinginan Serin untuk mengikuti lomba sing cover di instagram. Karena tak mempunyai instrumennya, Serin nekad menghubungi Fian―mantan teman ospeknya yang kebetulan pandai bermain gitar. Tak disangka, Fian menyanggupi perminta...