"Fi, jelasin sesuatu, plis!"
Desakkan Serin membuat Helen―cewek yang sebelumnya tengah mendekap Serin melepasnya. Kemudian, ia ikut melirik ke arah Fian yang kini sudah terduduk di lantai.
"Apa di sini cuma aku aja yang gak tau apa-apa?!" Serin kembali berujar.
Fian benar-benar menyerah. Ya, setidaknya ia punya sesuatu yang diketahui meski ia tidak pernah tahu keseluruhan ceritanya bagaimana. Ini hanya sebagian cerita yang ia tahu. Maka ...
"Oke," kata Fian, "Gue tau sesuatu meski enggak semuanya."
Cara bicaranya benar-benar berubah, batin Serin.
Helen melirik ke arah Fian dan Serin bingung. "Gue enggak tau apa-apa selain hal itu, tapi Serin," gadis itu melirik ke arah Serin. Mengusap punggung gadis itu perlahan. "Tenang dulu, ya. Dan, maaf tadi bikin kaget karena langsung meluk."
Serin mengikuti ucapan gadis itu. Berusaha tenang dan menahan air matanya yang masih saja mendesak keluar. Payah, tapi ini hal yang wajar, bukan? Ia ... hanya mengharapkan penjelasan.
"Serin," panggil Fian, "Kamu sendiri tau kan kalau ingatan kamu terganggu?"
Deg
Regi dan Laila refleks menoleh. Mereka yang di sini tak tahu apapun sedikit pun. Sementara itu Serin mengangguk pelan. Ia tahu hal itu dan tak bisa ia pungkiri lagi.
"Sekitar setahun lalu," kata Fian memulai ceritanya.
Kala itu Fian tengah menelepon Serin. Ada sesuatu yang ingin Fian sampaikan. Ya, meski Fian tahu kalau Serin bukan tipe orang yang suka mengangkat telepon. Selain ponselnya seringkali di-silent. Ia benar-benar jarang mengangkat telepon.
Tapi hari itu berbeda. Serin mengangkat teleponnya.
"Halo," panggil Fian.
"Ya? Ada apa?" Selalu seperti itu―bahkan hingga saat ini.
Serin bukan orang yang suka basa-basi.
"Bulan depan ada lomba lagi di Myujikku, Rin!" Waktu itu Fian bersemangat karena sudah cukup lama ia dengan Serin berhenti mengikuti lomba-lomba cover lagu karena persiapan UNBK.
Ya, mereka memang melakukan hal itu sejak dulu. Karena di ekskul, mereka ada di divisi cover song. Sudah sering mengikuti lomba belakangan ini, setelah angkatan Helen lulus. Ya, meski Serin baru masuk ekskul tersebut awal kelas dua belas.
"Live apa ngirim video?" balas Serin girang.
Di samping itu, Fian mendengar suara grasak-grusuk dari ponselnya. Mungkin sedang gangguan sinyal, makanya Fian mengabaikan itu. Namun, baru saja memikirkan itu.
"Sori berisik, ini lagi di tangga hehehe," balas Serin.
Fian langsung mengerutkan dahinya bingung. "Jangan bercanda, udah dulu aja teleponnya."
Bukannya menginyakan, Serin malah tertawa. "HP di taroh di plafon, kok!"
"Hah? Emang lo di mana?"
"Di tangga loteng. Kan naik ke atas ga muat, ini cuma ngambil mesin ketik papa, kok. Habisnya kalau nunggu yang lain lama jadinya―eh, eh, ga lucu. Mama―aduh, Fi. Tangan gue―lah, laaaah. Mamaaaa!"
Braaaaak!
"Rin, Serin! Serin, woi! Lo gak apa, kan?" Fian tak dapat mencerna apa yang baru saja terjadi. "Serin gak lucu, woi!"
"Seriiiin!"
Namun, sekeras apapun Fian memanggil. Ia tak mendapat jawaban apapun selain debar jantungnya yang kian detik kian menyentak. Bohong kalau dalam pikirannya ada hal positif.
Dan hal itu benar terjadi ....
Ada pengumuman bahwa Serin jatuh dari tangga loteng dan tertimpa mesin ketik milik ayahnya. Dan sayangnya, hal itu membuat ingatan Serin terganggu. Terganggu parah.
Ya, Serin kehilangan ingatannya oleh benda seperti itu. Sepintas konyol, tapi ... itu menyakitkan.
Serin sudah membekap mulutnya diiringi dekapan teman-temannya. Bahkan mamanya tidak pernah memberi tahu alasan kenapa ia kehilangan ingatannya. Mama hanya sering bilang pada Serin kalau ia sakit.
Dan, Serin enggan menuntut banyak.
"Habis itu kita ke rumah sakit," kata Fian. "Maksudnya Kak Helen, Bagas, Adit, sama Kak Nat ini." Fian menunjuk mereka satu per satu.
Meski mengukir senyum, Serin tahu kalau mereka merasa kehilangannya. Ya, mungkin seperti itu.
"Lalu?"
"Kamu enggak kenal kami seorang pun. Ya, kayaknya memori kamu sama kita enggak ada. Atau lebih tepatnya pas kamu masuk SMA sampai lulus," jelas Helen menambahkan. "Habis itu kamu hilang." Helen diam-diam mengikuti cara bicara Serin.
"Aku pikir kamu kuliah di luar, tapi ternyata beberapa bulan lalu Fian bilang," Helen menoleh ke arah Fian.
"Kita ketemu di ospek."
Serin hanya bisa terdiam mengingat hari itu. Fian yang kebetulan satu kelompok dengannya. Tapi ....
"Kenapa gak bilang kalau kita kenal? Kenapa juga enggak bantuin buat balikin ingatan itu?"
Serin tahu ia egois. Memalukan. Namun, itu tetaplah keinginannya yang terdalam. Ia ingin ingatannya kembali.
"Seandainya semudah itu," kata Fian yang sudah tersenyum getir. "Kita gak pernah diizinin sebelumnya."
***
Bogor, 8 Januari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Background Music
Ficção Adolescente*** Semua berawal dari keinginan Serin untuk mengikuti lomba sing cover di instagram. Karena tak mempunyai instrumennya, Serin nekad menghubungi Fian―mantan teman ospeknya yang kebetulan pandai bermain gitar. Tak disangka, Fian menyanggupi perminta...