BGM 6
"Serin," panggil Fian yang baru saja menghentikan langkah kaki orang yang dipanggilnya. "Mau bikin cover lagu bareng?"
Serin terdiam, itulah yang Fian tahu. Ya, lagi pula ia tidak berharap lebih mengingat gadis itu bukan tipe orang yang gampang diajak ke mana-mana. Ya, bukan artinya mau ke sana, sini, atau situ. Tapi .... Fian, mengurungkan pikirannya yang terlalu jauh.
"Eh?"
Ya Tuhan, anak ini, batin Fian sudah ingin tertawa melihat reaksi gadis itu. Katakan padanya sudah berapa kali Serin merespon dengan jawaban seperti itu. Kalau dulu sih Fian yakin kalau Serin tak akan membalas seperti itu. Gadis itu hanyaa akan—Fian jadi menyesal kalau mengingat kembali semua itu.
Rasanya fana dan tak akan semudah itu terulang kembali. Lagi pula, ingatan Serin tentangnya saat ini hanya sebatas teman ospek yang lama tak jumpa karena beda jurusan. Sisanya? Fian enggan mengharapkan hal itu kembali. Masa-masa yang kini hanya sebatas oase di tengah padang pasir. Ia sudah bilang hal itu tadi, bukan?
Sekarang, Fian hanya bisa tersenyum kikuk sambil memiringkan kepalanya ke kanan.
Sementara Serin yang ada di hadapannya masih terdiam. Tentu saja pikirannya berkelana ke sana ke mari berpadu dengan gejolak dalam dadanya yang merasa ragu. Tapi ia ingin sekali menjawab ya. Hanya saja, rasanya sulit. Seperti ....
Demi apapun suara gue jelek.
Iya, hal utama yang ada di pikiran Serin itu. Bukan artinya ia ingin merendahkan diri atau apa. Tapi rasanya memalukan kalau mengingat semua itu. Bahkan ia sendiri saat mengulang kembali rekaman-rekamannya seperti ingin berteriak karena rasanya itu memang memalukan.
Tapi ....
Gadis itu mengangguk, sesaat kemudian menggeleng, kemudian mengangguk lagu. Sampai Fian yang ada di hadapannya bingung menangkap ekspresi gadis itu.
"Mau enggak?" Lagi, Fian bertanya.
"Ta--tapi jangan ketawa kalau nanti tau suara asli—"
Fian tersenyum menahan tawa mendengar balasan gadis itu, kemudian memotong, "Siapa yang peduli juga. Udah tau, kok."
"Eh?"
Oke, jangan lupa mengingatkan Fian untuk memberi Serin gelas saat bertemu lagi nanti.
***
Fian baru saja sampai rumahnya dan kini berjalan menuju kamarnya yang ada di belakang—dekat dapur. Sepi, satu hal yang sudah biasa ia temukan sejak satu tahun yang lalu. Terlalu banyak hal yang terjadi sampai-sampai ia bingung mau mengingatnya dari mana. Atau mungkin hanya perasaannya saja. Ia yang terlalu berlebihan.
Pasti.
Fian bergegas masuk ke kamarnya, merebahkan tubuh di atas kasur ukuran single warna biru malam bertabur percikan bintang setelah sebelumnya melempar tasnya ke arah meja yang berada tak jauh dari kasurnya tersebut.
Dingin, hal pertama yang ia rasakan. Membuat matanya perlahan terpejam. Namun, rasa kantuk tak kunjung menyapa. Ia malah teringat dengan kejadian tadi. Soal permintaan konyolnya. Soal alasan yang tersembunyi di baliknya. Ah, Fian jadi ingat hal lain.
Dengan cepat ia membuka mata dan terbangun. Mencari ponsel yang seingatnya ia simpan di dalam tas sejak tadi bertemu dengan Serin. Ya, lagi pula ia bukan pecandu ponsel seperti gadis itu. Karena seingatnya tadi, Serin masih pakai pelantang saat bicara dengannya tadi. Dan kalau diingat, kebiasaan Serin sejak lama tidak banyak berubah. Hanya lebih tertutup.
Setelah merogoh ke berbagai tempat, Fian menemukan ponselnya di tempat laptop. Terseip di antara kertas print dan plastik bungkus fotokopi yang biasa ia jejalkan begitu saja. Kadang suka butuh.
Fian kembali ke kasurnya sambil menyandarkan diri di tembok bercat abu muda, buru-buru membuka salah satu aplikasi obrolan daring yang sejak lama ia pakai. Bukan yang baru ia pakai semenjak kuliah. Di situ, ia segera mencari obrolan yang berada hampir paling bawah. Obrolan yang sudah lama tak ia isi bersama orang-orang itu.
Hei, udah lama gw gak nongol di sini. Lu juga pada ke mana? Btw, ada sesuatu yang mau gue kasih tau.
Fian mengirim pesan yang cukup panjang tersebut. Dan itu, pakai cara bicara di SMA dulu. Saat ini juga, sih. Hanya saja saat dengan Serin berbeda. Bukan karena apa atau apa. Hanya saja, ia menyesuaikan dengan cara bicara gadis itu yang meski masih blak-blakan berbeda dari dulu. Serin sering pakai aku-kamu dibanding saat SMA yang pakai gue-lo.
Tak kunjung mendapat balasan, Fian langsung menutupnya. Lagi pula orang-orang itu sudah sangat sibuk sekarang. Ya, mungkin.
Fian hanya bisa menghela napasnya kasar, terbangun dari tempatnya duduk saat ini. Ia ingin mendinginkan diri. Mungkin air bisa meredam panasnya. Ya, mungkin hanya itu.
***
Sementara Serin yang belum lama sampai ke rumahnya langsung mengotak-atik boks yang ada di bawah tempat tidurnya. Sebuah boks besar yang berisi barang-barang lamanya. Meski sebagian besar ia tak tahu itu bekas atau dari siapa.
Hanya saja, sepulang kuliah ia mengatakan harus mencari sesuatu. Karena entah kenapa, saat tadi ia berbicara banyak hal dengan Fian. Seperti ada dorongan sesuatu. Ia tak tahu apa itu. Tapi, lagi-lagi hatinya mendorong semua itu. Terlebih saat ... ada bisikkan melintasi kepalanya. Karena selain itu, ada bayangan sebuah kertas dengan tulisan tangannya menulis hal itu.
Serin menghela napas sambil menatap tumpukkan buku catatan yang ada di hadapannya. Berantakan dan ia harus membereskan semua ini. Di sisi lain, ia tak kunjung menemukan tulisan itu.
Ya, lagi pula siapa yang tahu di mana tulisan itu berada. Bisa saja Serin menuliskan hal itu di sembarang buku, di sembarang halaman, dan tak ada yang tahu. Terlalu sulit meski dalam hatinya mengatakan bahwa kertas itu akan—
Mata Serin menyipit saat melirik ke arah kertas kecil bermotif bunga di antara buku catatan yang ada. Dengan cepat gadis itu menariknya. Sebuah sobekkan kertas kado yang ternyata semakin parah kondisinya saat Serin tarik—bertliskan tanggal lahirnya.
Akhirnya, karena penasaran Serin membuka buku catatan yang ada hampir paling bawah itu. Di sana banyak corat-coret berantakan. Gambar, angka, dan tulisan-tulisan yang salah satunya adalah ....
Gak usah lebay nahan-nahan, dasarnya lo suka yang kayak gitu, mau gimana lagi?
–Fian Putra Pratama
Serin terdiam menatap hal itu, otaknya berusaha mencerna dan mengingat. Tapi tak kunjung menemukan apapun. Udara seakan direnggut darinya.
***
Bogor, 11 Desember 2018
Good Night! I hope you like it :)
Regards
Nari
KAMU SEDANG MEMBACA
Background Music
Novela Juvenil*** Semua berawal dari keinginan Serin untuk mengikuti lomba sing cover di instagram. Karena tak mempunyai instrumennya, Serin nekad menghubungi Fian―mantan teman ospeknya yang kebetulan pandai bermain gitar. Tak disangka, Fian menyanggupi perminta...