Chapter Three

42 5 3
                                    

"Honesty is the first chapter in the book of wisdom."

Thomas Jefferson

-0-

It's been a week since Yudha and I are offficially going out. Kamis itu, aku tidak sempat sarapan karena sibuk mengejar target bacaan demi kelancaran kuis mata kuliah Kebudayaan Indonesia. Terbukti baru saja jeda mata kuliah pertama aku sudah lapar, tanpa berlama-lama lagi aku segara meluncur ke KanSas (Kantin Sastra). Aku segera memesan nasi dengan lauk cap cay, rendang, dan telur mata sapi yang langsung aku lahap setibanya di meja yang kutempati. Sedang asyik melahap sarapan yang terlambat itu tiba-tiba aku dikejutkan dengan seseorang yang duduk tepat di hadapanku. "Di-Dika?". Ia tersenyum simpul, "Kenapa Ki? Kaget? Kagak suka gue di sini?".

"Bu-bukan gitu, aku cu-cuma...." Tak sanggup aku meneruskan kata-kataku karena memang I was out of words.

"Stop avoiding me, will you?" pintanya dengan nada yang menuntut penjelasan dariku.

"Maaf ya Dik, waktu itu aku ngehindar. I have a reason Dik." Lirih aku mengucapkan kalimat itu dari mulutku.

"Then tell me! Explain it!" tuntut Dika padaku.

Aku tak punya pilihan lain selain memberinya penjelasan. Aku lalu mengatakan padanya bahwa saat itu aku menunggu hujan reda namun karena tidak kunjung reda akhirnya aku menerobos hujan untuk menunggu angkot di pinggir jalan tetapi karena tidak kunjung mendapat angkot aku lalu memilih ojek online dan hasilnya aku sakit. Aku mengatakan bahwa aku takut membuat Dika khawatir dan merasa bersalah akhirnya aku menghindari dia. I know that I lied but I had no choice. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya bahwa I went to Yudha's house and get drunk and we made out that night. Anyway, maksud make out session with Yudha di sini bukan berarti aku melakukan hubungan badan, no it's not that, we just kissed and necked, that's all.

Luckily, he believed in everything I said. Tetapi akibatnya, Dika malah menyalahkan Yudha dan menuduhnya tidak bertanggungjawab dan mengakibatkan aku jatuh sakit. Mau tidak mau hal ini membuatku merasa bersalah.

Speaking of Yudha, terakhir kali aku mendapat pesannya adalah tadi pagi yang mengatakan bahwa dia di perjalanan menuju kampus setelah itu aku belum mendapat balasannya lagi. Tidak biasanya dia tidak membalas pesanku. Mau tidak mau hal ini membuatku khawatir, apakah dia kecelakaan saat perjalanan ke kampus, apakah ponselnya hilang, apakah dia sudah sampai di kampus. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku. "Kenapa Ki? Kok kayak cemas gitu? Lo pusing? Masih sakit?" Dika bertanya padaku dengan nada khawatir yang kujawab bahwa aku baik-baik saja hanya mengkhawatirkan nilai kuisku sambil plastered a fake smile. Dika lalu pamit kembali ke kelas sedangkan aku bolak-balik keluar-masuk aplikasi pesan instan untuk mengecek balasan dari Yudha. "last seen masih 07.15," gumamku sedikit kesal.

Yang membuatku lebih kesal lagi adalah untuk apa aku mengkhawatirkan Yudha secara berlebihan. Why do I have to worry the guy who stole my first kiss? And why am I not happy to be able to talk to Dika again? Biasanya aku selalu senang setelah bercakap-cakap dengan Dika tetapi entah bagaimana pada saat itu aku tidak merasakan hal tersebut. Otakku malah memancarkan program yang aku tidak tahu apa itu yang akhirnya malah melahirkan satu kalimat di benakku yaitu, I have to see Yudha right here right now.

Momen mengkhawatirkan Yudha masih berlanjut hingga aku selesai mengerjakan kuis mata kuliah Kebudayaan Indonesia. Begitu dosen mata kuliah tersebut pamit meninggalkan kelas aku langsung mengecek ponselku dan tidak ada notifikasi pesan instan masuk dari Yudha and I don't know why it pisses me off. Ketika aku menunggu angkutan kampus untuk menuju gerbang selatan kampus, aku mendapat pesan dari Yudha yang berisi, "Yang sorry baru ngabarin, aku tadi sibuk ada kumpul Society1. Jam 3 ketemu di ATM Center ya. See u sayang."

Reach For The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang