Malam harinya Dinda memberanikan diri untuk mengetuk pintu ayahnya. Karena menurutnya hal seperti ini tak boleh di abaikan begitu saja. Dinda mungkin tak bisa seperti Arsen yang mudah menerima keputusan papahnya.
Dinda membuka pintu ketika mendengar suara papahnya dari dalam.
"Aku mau bicara." Dinda berdiri di samping papahhnya yang sedang membaca buku. "jangan bilang ini gak penting yah, ini sangat penting bagi aku."
Papahnya berdeham."terus?"
Dinda berlutut di depan ayahnya, air matanya perlahan turun, dia mulai terisak."pah, Dinda mohon, aku pengen jalani kehidupan aku sesuai dengan yang aku mau tanpa ada tekanan oleh siapapun, aku mungkin gak bisa jadi kayak kak Vera tapi mohon izinkan aku jadi diri sendiri."
Ayanya menghela napas. Dia membangunkan Dinda lalu memeluknya. "kamu janji harus lulus dengan nilai terbaik." Dinda semakin terisak. "papah izinkan kamu masuk psikolog."
"pah? Serius?" tanya Dinda tak percaya.
Papahnya mengangguk. "maaf kalau papah terlalu mengatur masa depan kamu, papah hanya ingin kamu jadi yang terbaik."
Dinda mengangguk, dia memeluk papahnya erat. "tanpa harus memisahkan kak Arsen dan Sabiyakan pah?"
Papahnya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
⚫⚫⚫⚫⚫
"Sen, bagus gak?"
Arsen melihat baju bermotif batik berwarna biru yang ditunjukan oleh Vera. Mereka berdua sedang ada di pasar malam.
"bagus." katanya. "mbak, ada dua gak yang ini?"
"dua?"
Arsen mengangguk. "iyah buat lu sama Biya"
Vera mengangkat kedua alisnya. "Biya?"
"mas ini bajunya."
Arsen mengeluarkan uangnya dari dompet lalu memberikan kepada mbaknya.
"mau kemana lagi?"
"beli aromanis?"
Arsen mengangguk, mereka pergi menuju mas pedagang aromanis.
"dua yah mas."
Pedagang aromanis itu memberikan dua aromanis.
"manis kek gue, suka." kata Vera sambil terkekeh pelan.
"pede gila."
"yees lu aja suka pede."
Mereka berdua pergi ke mobil untuk pulang karena sudah larut malam.
Tak ada yang berbicara sepanjang perjalan hanya musik saja yang menemani mereka sampai rumah.
Vera langsung keluar dari mobil.
"thanks yah Sen, seneng banget gue bisa keliling Semarang sama lo."
Arsen tersenyum senang. Mereka berjalan masuk ke rumah. "ya udah istirahat gih, besok kita harus pulangkan?"
Vera mengangguk. "good night."
Arsen melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Dia mengetikan sesuatu di ponselnya lalu di kirim kepada Biya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SabiyArsen
Teen Fictionsemua orang mempunyai titik Lelahnya masing-masing, dan sekarang aku sudah berada dititik itu untuk itu, aku melepasmu untuk dia.