Daniel mempercepat langkahnya menelusuri koridor rumah sakit. "saya mau ketemu dokter Vera." katanya kepada salah satu suster.
"dokter sedang ada di--"
Belum juga suster itu menyelesaikan ucapannya Daniel sudah melihat Arsen dan Vera sedang jalan ke arahnya.
Daniel langsung menarik Arsen ke arah taman belakang.
"dengerin yah buat lo Arsen, enggak, buat lo bajingan kalau lo emang udah gak sayang sama Sabiya lepasin dia jangan buat dia nangis kayak gini."
Arsen mengerutkan dahinya. "apa urusan lo?"
"lo tahu keluarga gue hancur karena orang lain. Dan gue gak mau itu juga terjadi sama sahabat gue." Daniel mengacak rambutnya frustasi. "gue gak nyalahin Vera Mungkin emang lo aja yang udah bosen. Jalanin hubungan dua tahun udah bosenkan?"
Arsen mengepalkan tangannya, dia melayangkan satu tonjokan kepada Daniel. "gue beda sama ayah lo Daniel."
Daniel mengangguk paham. Dia menahan Arsen agar tak emosi. "gue tahu Arsen, tapi cara lo berubah."
"ini masalah gue sama Sabiya."
"lo sahabat gue, gue gak mau hubungan lo sama Sabiya rusak."
"hubungan gue sama Sabiua akan baik-baik aja, sekarang gue boleh minta tolong?"
Daniel mengangguk. "apa?"
"bawa dia ke kafe tempat kita kumpul."
⚫⚫⚫⚫⚫
Pukul enam sore Sabiya sudah siap, dia hanya menggunakan dress berwarna merah muda rambutnya diikat ditambah poni yang menutupi dahinya membuat Sabiya terlihat cantik.
"Bi, ada Daniel." ibunya memberitahu. "cepet yah kasian dia."
Sabiya mengangguk. "udah kok mah." katanya lalu mengambil tas nya dan pergi ke ruang tamu.
"yuk."
Daniel mengangguk. "yuk."
Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Di sepanjang perjalanan mereka banyak membicarakan hal seputar kampus, musik, makanan, dan kadang Daniel memberikan lelucon recehnya yang membuat tertular receh.
Tak lama kemudian mereka sampai di salah satu resto. Daniel langsung mengantarkan Sabiya ke meja yang sudah dipesannya.
"lo tunggu disini, gue balik."
"lah kok balik sih?"
"pokoknya tunggu deh, gue balik duluan bye."
Sabiya tak bisa mencegah karena Daniel sudah duluan lari keluar resto.
"kan ada aku disini."
Sabiya menoleh ada Arsen yang datang sambil membawa satu buket bunga lalu diberikan kepada Sabiya.
"maaf." Arsen mengusap tangan Sabiya. "aku minta maaf."
Sabiya tak bisa menyembunyikan senyumannya. Dia mengangguk. "aku juga minta maaf."
"ya udah sekarang jangan marahan, kita makan aja gimana? Aku udah pesenin."
Sabiya mengangguk sebagai jawabannya. Kemudia waiters datang membawakan pesanan untuk mereka.
Sabiya jadi ingat kejadiannya dengan Tesya, mungkin dia juga harus minta solusinya kepada Arsen.
"sen."
Arsen mendongak. "kenapa gak enak makanannya?"
Sabiya menggeleng. "bukan itu, aku mau cerita sama minta solusinya."
"apa?"
"jadi kemarin aku ketemu Fadil di supermarket ---"
Arsen mengalihkan pandangannya ke arah ponselnya yang menyala.
"angkat dulu aja." kata Sabiya
Arsen mengangguk. Dia mengangkat teleponnya.
"terus?" katanya setelah selesai mengangkat telepon dari seseorang.
"siapa?" bukan menjawab pertanyaan dari Arsen, Sabiya malah menanyakan siapa yang menelpon kekasihnya itu.
"papah."
Sabiya mengangguk paham. "papah kamu nyuruh pulang?"
"enggak, dia cuman nanya kunci motor dimana, kemarin aku pake soalnya."
"kemarin kamu keluar rumah?"
Arsen menghela napasnya. "aku cuman beli makanan sama Dinda."
Sabiya menjadi tak enak mungkin dia terlalu berlebihan kepada Arsen tapi wajarkan dia hanya khawatir dengan Arsen.
Apalagi ditambah sikap Arsen yang belakangan ini terasa aneh baginya."kamu mau cerita apa?" kata Arsen.
"eh iya lupa, itu terus aku liat Fadil sama cewe--"
" ya ampun." Arsen menepuk dahinya, dia langsung menghubungi seseorang membuat Sabiya kebingungan, ada apa dengan Arsen kenapa dia terlihat khawatir.
"kenapa sih?"
"kita pulang sekarang." Arsen beranjak dari duduknya dia menaruh sejumlah uang di meja lalu menarik Sabiya keluar.
"Sen tunggu deh, kamu kenapa?"
"aku harus pergi, kamu bisa pulang naik taksikan?"
Sabiya mengernyit kebingungan. "kamu jelasin dulu."
"gak ada waktu buat jelasin."
Sabiya menahan Arsen agar tak pergi namun Arsen malah melepaskan tangan Sabiya lalu pergi menuju parkiran.
Sabiya tak menyerah, dia mengikuti Arsen dari belakang. "Arsenio aku mau dianterin sama kamu." katanya dengan tegas.
Arsen berbalik, dia menangkup pipi Sabiya. "aku gak bisa sayang, nanti kalau udah sampe rumah langsung kabarin aku yah." lalu Arsen pergi meninggalkannya sendirian.
Sabiya menghela napasnya berat, dia tak tahu apa yang sudah membuat Arsen berubah atau mungkin ini hanya perasaannya.
Sabiya menghapus air matanya dia melangkahkan kakinya mencari taksi. Rasanya sakit, sangat sakit. Dulu Arsen bahkan tak pernah tega meninggalkan Sabiya pulang sendirian. Sesibuk apapun dia selalu mengantar Sabiya.
Arsen selalu mengatakan kalau dia tak mau Sabiya menangis tapi sekarang dialah penyebab Sabiya mengeluarkan air mata.
Kalau memang Sabiya buka lagi menjadi prioritasnya kenapa tak dilepaskan saja, jangan perlahan-lahan dibunuh seperti ini.
Terlalu menyakitkan untuk Sabiya.
Kira kira yang cocok jadi Daniel siapa yah? Ada ide?
KAMU SEDANG MEMBACA
SabiyArsen
Ficção Adolescentesemua orang mempunyai titik Lelahnya masing-masing, dan sekarang aku sudah berada dititik itu untuk itu, aku melepasmu untuk dia.