5

2.9K 276 3
                                    

Abel point of view

"Abel, tugas ekonomi udah belum?"

Aku baru saja sampai di kelas, rupanya sudah terdapat Banny yang terlihat pasrah dengan buku tulis ekonomi di hadapannya. Sebagai teman yang baik, tentunya aku memberikan catatanku padanya, lagipula berbagi tidak buruk.

Perutku keroncongan, bunda tidak sempat memasak karena ada operasi di rumah sakit dan berangkat sejak subuh. Ayah pun juga sudah berangkat kerja sejak pukul lima pagi. Lagi-lagi aku kembali sendiri di rumah.

Krrkr kkrrk

"Pas banget ya, perut lo bunyi, haha."

Tiba-tiba Mark—teman sekelas ku, duduk di hadapanku dan memberikan aku sekotak susu ultramilk dan roti sandwich.

"Ini buatan mama, kebetulan kebanyakan, gih ambil satu," suruhnya.

Aku berterima kasih pada Mark karena perutku memang sangat perih sejak tadi, namun aku terlalu malas untuk berjalan ke kantin.

Kubuka kotak bekal milik Mark, lalu kulahap satu sandwich berisi daging, telur, dan keju itu. Tak lupa meminum susu pemberiannya sebagai pelengkap.

'Makan aja cakep lu, Bel'

"Eeh? Ada yang ngomong?" Tanyaku.

Banny dan Mark menatapku bingung. Karena sedari tadi, Banny hanya fokus menyalin tugas ekonomi. Sedangkan Mark juga asik mengunyah, tidak ada satupun dari kami yang berbicara saat itu.

Aku terdiam. Aku baru ingat kalau minum susu, kekuatan ini akan kembali. "Sorry, mungkin gue ngawur hehe."

Bel masuk telah berbunyi, Mark telah kembali ke mejanya, dan Banny juga telah selesai menyalin tugas. Semenjak mempunyai kekuatan ini, tidak ada satupun orang yang tahu, kecuali kak Rian.

"Banny," panggilku.

Banny hanya menengok dengan muka datarnya.

"Janji ya, jangan bilang siapa-siapa?"

"Apasih Bel, kaya pertama kali curhat ke gua aja."

Aku memastikan semuanya sedang sibuk pada urusan masing-masing. Kemudian aku mendekatkan diri pada Banny. "Gue bisa baca pikiran orang."

Reaksi Banny rupanya biasa saja, dia mengangguk-angguk. "Pantes tadi lo agak error. Denger suara pikiran siapa lo?"

Aku menggeleng. "Emang apa katanya?" tanya Banny.

"Katanya, gue lagi makan aja cakep. Gitu Ban!"

Banny menahan tawanya. "Udah pasti bukan gue!"

Aku cemberut. Ya memang sih, mana mungkin seorang Banny memujiku cantik. Yang ada sih ngatain aku kaya babi
guling lah, ayam kalkun lah, hhh.

"Siapa lagi sih yang bakal bilang gitu kalo bukan si ono?" Banny mengarahkan pandangannya ke belakang. Lebih tepatnya ke arah Mark yang sedang memakan permen karet sembari menatap jendela. "Tadi kan di kelas, kita cuma bertiga."

🏸

Seperti biasa, setelah pulang sekolah aku harus menuju club untuk latihan. Kebetulan dalam waktu dekat ini, aku dan Ester akan mengikuti sebuah turnamen di Jakarta.

"Abel, mau latihan ya?" Mark menyapaku yang sedang memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam tas.

"Iya hehe."

Mark terlihat ragu sejenak, kemudian kembali menatapku. "Mau gue anter?"

Sebelum aku menjawab pertanyaannya, Varo tiba-tiba muncul dan menarik tanganku. "Sorry, dia udah sama gue."

Varo terus menarik tanganku menuju parkiran motor, padahal sudah kuminta padanya untuk melepaskan tanganku karena kami menjadi pusat perhatian anak-anak lainnya. Namun pria itu seakan tuli, dan tetap menggenggam tanganku hingga sampai ke parkiran.

Selama di jalan, tak ada satupun dari kami yang membuka suara. Varo terlihat kesal dari kaca spion, dia juga agak ngebut saat mengendarai motor, membuatku sedikit takut.

"Jangan ngebut, Varo," pintaku. Motor melaju lebih pelan, rupanya dia masih mau mendengarkan.

Kami sampai di tempat latihan, aku turun dan melepas helm ku. Varo masih tetap duduk di motornya, dia menatapku yang sedang kesulitan membuka helm.

"sini," ujarnya. Dia membantuku untuk melepaskan helm yang sedari tadi lumayan susah untuk di buka.

Kemudian kami canggung. Karena aku pun tak tahu kenapa Varo bersikap seperti itu tadi. Apa mungkin dia cemburu pada Mark?

"Kamu sama Mark ada hubungan apa?" Varo kembali menatapku.

Jujur aku agak kaget saat dia mengajakku berbincang menggunakan aku-kamu. Karena sebelumnya Varo tidak pernah melakukan hal ini sama sekali.

"Gue cuma temen sekelas, Alvaro," jelasku.

"Tapi dia kayanya suka sama kamu."

"Terus kenapa? Kan itu hak dia," jawabku agak nge-gas. Lagian Varo aneh banget, masa marah gara-gara hal sepele kaya tadi.

Varo terlihat menggaruk lehernya yang tidak gatal. Matanya kemana-mana, menghindari kontak mata denganku. Kemudian dia memegang tanganku, tatapannya kembali terfokus padaku.

"Aku suka kamu, Arabelle."

Aku hanya diam. Aku gak bisa balas perasaannya, karena aku sudah menganggap Varo sebagai sahabat. Aku melepaskan genggaman Varo, lalu berjalan pergi meninggalkannya sendiri di parkiran.

"Sorry, Varo. Kita cukup temenan aja ya."

🏸

Mas Jom sangat glowing ya gays, hadueee masa depanqu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mas Jom sangat glowing ya gays, hadueee masa depanqu

Mind ; Rian ArdiantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang