Masih dengan tangannya yang menutup mulutku rapat-rapat, kak Rian terlihat panik. Mungkin dia takut apa yang aku katakan barusan terdengar oleh seseorang, karena tadi aku lumayan keras saat bertanya padanya.
"Kamu tau darimana?" tanya kak Rian.
"Loh bukannya tadi kakak sendiri yang ngomong pelan banget?"
'Perasaan gue gak cerita ke siapapun, ke Fajar aja kaga'
"Oh kakak ga cerita juga sama kak Fajar?"
'Kok dia bisa baca pikiran gue?!'
"Kok aku bisa baca pikiran kakak?!"
Kami berdua sama-sama terdiam. Aku pun masih gak nyangka kalo aku tiba-tiba bisa membaca pikiran seseorang. Padahal sebelumnya aku gak pernah sekalipun mendapat situasi semacam ini.
Kak Fajar datang dengan membawa nampan penuh dengan makanan. Dia melihat kami dengan tatapan aneh, karena posisi aku dan kak Rian masih menatap satu sama lain.
"Loh, udah akrab aja kalian," ujar kak Fajar.
Kak Rian menjauhkan badannya dariku, dan kembali ke tempat semula. "Curhat doang."
"Loh jahad kamu ye Jom, aku bukan tempat curhatmu lagi nich?" kak Fajar berujar dengan sok imut, membuat kak Rian berekspresi dengan jijik.
Kak Rian beranjak untuk mengambil makan siangnya. Rupanya tadi dia sengaja untuk duduk menemaniku terlebih dahulu agar tidak sendirian.
"Gimana, masih mau masuk kesini?" tanya kak Fajar membuka obrolan.
Siapa yang gak mau masuk kesini, apalagi untuk atlet badminton sepertiku. Untungnya orang tua kami tidak membatasi apa yang kita mau.
"Pake ditanya?" ujarku sinis. "Ya mau lah!"
"Buset galak bat adek gue."
Kami segera menyelesaikan makan siang, karena setelahnya aku dan kak Fajar berencana untuk menghabiskan waktu berdua layaknya kencan. Kebetulan di hari sabtu ini, dia hanya latihan setengah hari, jadi free hingga besok.
"Jar, boleh ikut gak?"
Tiba-tiba kak Rian memasuki kamar kak Fajar dengan muka murung.
"Tanya noh ke si Abel," ujar kak Fajar sambil menunjukku sebelum dia keluar dari kamar untuk menjemur baju.
Kak Rian menatapku dalam diam, menunggu jawabanku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Sejak kapan?" tanyanya. Aku menatap kak Rian kebingungan. "Maksud saya, kamu sejak kapan bisa baca pikiran? Fajar gak pernah cerita."
"Baru tadi," jawabku. "Makanya aku kaget."
Kak Rian makin menatapku dengan lekat, seperti sangat tertarik dengan kemampuanku. "Lalu sekarang? Coba baca pikiran saya."
Anehnya, kali ini aku tidak mendengar apapun. Semenjak selesai makan dan memasuki kamar kak Fajar, seolah suara-suara yang memenuhi kepalaku langsung lenyap.
"Gak bisa kak."
Aneh, benar-benar aneh. Aku baru mendapatkan kekuatan ini saat berumur tujuh belas tahun, namun sepertinya hanya berlaku sekali seumur hidup.
"Kamu bisa baca pikiran setelah lakuin apa? Coba inget-inget."
Aku berpikir sejenak, yang aku lakukan kan hanya menunggu di pinggir lapangan sambil meminum susu coklat. Setelah itu baru muncul suara-suara yang amat mengganggu.
"Minum susu."
"Saya serius, Abel."
"Ya aku juga serius kak Rian."
Kak Rian tepok jidat, dia pikir aku bercanda apa. "Coba kamu minum susu lagi," ujarnya.
Aku mengambil susu coklat simpanan kak Fajar di lemari nya, lalu kuminum sampai habis.
Benar saja, suara-suara pikiran orang lain kembali bermunculan di dalam pikiranku.
"Bisa?"
"Bisa kak," ujarku, sejujurnya kali ini aku agak panik. Dengan kekuatanku ini apakah artinya aku mendapatkan kesialan?!
"Terus kok tadi bisa ilang?"
"Masa batas waktunya cuma sejam," pikirku aneh.
Sebelum percakapan kami lebih panjang, kak Fajar masuk ke kamar dengan keranjang baju yang sudah kosong. Kemudian dia segera mengajak kami untuk berangkat, keburu hari semakin sore.
Kami berangkat menuju sebuah mall terdekat untuk menonton film menggunakan mobil milik kak Rian. Kak Fajar yang sedang malas menyetir tidak membuang kesempatan, mumpung kak Rian mau ikut kami, katanya.
Sesampainya di mall, orang-orang otomatis menatap ke arah kami. Ah enggak, lebih tepatnya menatap ke arah kak Fajar dan kak Rian. Setelah mereka meraih perak di Asian Games kemarin, mereka rupanya semakin di kenal banyak orang.
"Abel, emang kakak kamu ini ganteng banget ya, sampe diliatin banyak cewe," kata kak Fajar dengan sangat pede. Aku dan kak Rian kompak memberikan ekspresi jijik padanya.
"Nonton horror ga nih?"
"Kaya berani aja sih dek, paling lu gigit tangan gue kaya yang terakhir kali!" protes kak Fajar.
Kebiasaan ku saat menonton film horror emang ngumpet pada orang sebelahku. Kalau kasus kaya kak Fajar sih cuma aku lakuin ke dia doang, emang orangnya pas banget buat di gigit, hehe.
"Hayuk ah, mumpung film nya lagi trending!"
Kak Fajar memutar bola matanya malas, namun tetap membeli tiket untuk kami bertiga. Sedangkan kak Rian masih diam di posisinya. Kak Rian tuh emang pendiem banget terkenalnya, berbanding jauh sama kak Fajar yang bawelnya minta ampun. Aku heran kenapa dia bisa tahan sama bacotannya kak Fajar.
"Freya Arabelle," panggil kak Rian. Aku hanya menengok sebagai balasannya. "Rahasia saya aman sama kamu ga?"
Aku mengangkat kedua jempol ku keatas, di tambah dua jempol kaki. "Seratus persen, aman damai dan tentram!"
Kak Rian tersenyum hangat, dia menjulurkan gangannya yang sudah berbentuk pinky promise. Aku agak tertawa karena dia sangat lucu, siapa orang yang masih menggunakan pinky promise di tahun dua ribu delapan belas begini.
"Janji!" ujarku sambil membalas pinky promise nya.
"Ada apa neh?!" kak Fajar datang dengan tiga tiket di tangannya.
Aku dan kak Rian hanya diam sembari tersenyum geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mind ; Rian Ardianto
FanfictieFreya Arabelle punya sebuah kekuatan aneh. Dia bisa membaca pikiran seseorang ketika mengkonsumsi susu. Efek tersebut akan hilang satu jam setelah meminumnya. Secara tak sengaja, dia mengetahui rahasia dari seorang Rian Ardianto, partner badminton...