Prolog
“Anna, shift-mu sudah selesai, kan?”
Aku sedang menanggalkan jubah putihku di dalam ruang ganti saat Bagus mengetuk pintu.
“Bisa sekalian bawain sampahnya keluar? Dapur sibuk, Dion sampai terjun delivery.”
“Oke. Memang mau sekalian kubawa keluar,” seruku dari dalam. “Dion udah titip pesan sebelum berangkat.”
“Makasih ya, Say, jangan lupa ambil amplop mingguanmu di meja. Listrikmu bulan ini belum dibayar, kan?”
“Makasih, Gus! Tepat waktu.”
Sudah kubilang, hidupku sempurna.
Bagiku.
Dari kacamata seorang perempuan yang sejak sekolah harus bekerja serabutan supaya ekonomi keluarga tetap stabil, bisa menghindar dari paksaan menikahi pria seadanya hanya supaya orangtua terbebas dari beban membiayai hidup kita setelah lulus SMA, dan memilih bekerja adalah prestasi yang cukup membanggakan. Mungkin orang-orang yang bisa mengenyam pendidikan tinggi, tidak berasal dari keluarga besar dengan sumber penghasilan kecil-kecilan, akan menertawakan deklarasiku mengenai hidup yang sempurna.
Sebagian orang yang bertanya apa yang ingin kau ubah dalam hidup selalu menganggapku hanya berpura-pura bahagia saat kubilang tak ada yang ingin kuubah. Jika aku diberi pilihan antara mengubah atau memperbaiki, aku hanya ingin berjuang lebih keras supaya tak kehilangan kesempurnaan ini, dan bisa mencapai sesuatu yang lebih baik lagi. Hidup dalam tekanan nyaris seumur hidup mengajarkanku supaya tidak berharap terlalu banyak dan lebih mensyukuri apa yang terhidang di meja makan, tagihan yang terbayar, dan pekerjaan yang membayar cukup layak untuk disisihkan pada saat-saat darurat.
Saat-saat darurat maksudku detik-detik akhir bulan di mana uang yang tersisa hanya yang tinggal kusisihkan untuk menyambung hidup.
“Anna, bawa sisa roti dan daging yang di samping kulkas, kalau kamu panasin di rumah harusnya masih enak. Jangan lupa tanda tangani tanda terima gajimu, ya.”
Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Maya, pemilik restoran keluarga yang mempekerjakanku. Dia menerima lamaran pekerjaanku tanpa banyak pertimbangan setelah bakery tempatku bekerja sebelumnya harus mengencangkan ikat pinggang dan aku menjadi salah satu karyawan yang diberhentikan.
Kuhirup aroma daging yang dimaksud Maya, aku bahkan nggak perlu memanaskannya di rumah. Ini masih kelihatan sangat enak. Steak buatan Riko adalah yang terbaik di restoran ini, namun kadang pelanggan terlalu cerewet sehingga kesalahan kecil seperti sedikit terlalu matang membuat mereka tega mengembalikan hidangan ke dapur. Yah, paling nggak, ini jadi rejekiku. Kusambar dua kantung besar sampah dapur setelah berpamitan dengan yang lain.
Sebelum membuka pintu belakang khusus karyawan, aku lebih dulu memastikan shift-ku esok hari. Namaku ada di daftar paling atas, Annadiah Prameswari. Lahir dua puluh dua tahun yang lalu, anak ke-enam dari delapan bersaudara, lari dari rumah karena tak ingin menjalani pernikahan perjodohan dengan seorang pemuda biasa saja yang tak kukenal, tinggal di Jakarta sejak lulus SMA.
Aku tak pernah punya impian besar sejak menginjakkan kaki di kota ini. Nggak pernah punya pikiran terlahir untuk sesuatu yang lebih berarti, aku hanya ingin menjalani hidupku yang hanya sekali sesuai kehendakku sendiri. Hidup di kota besar terlalu keras untuk bermimpi, selama empat tahun, aku berganti pekerjaan setidaknya sepuluh kali. Dari menjadi petugas kebersihan, pelayan toko, pelayan restoran, asisten tukang panggang di sebuah toko roti, hingga diperbolehkan memegang stan-ku sendiri.
Cinta?
Cinta masuk dalam daftar impian untuk pejuang hidup sepertiku. Kami butuh extra dua jam setiap hari supaya sempat memikirkannya, jawabannya tentu saja tidak. Aku bekerja sepuluh jam, jarang menolak permintaan majikan untuk tinggal hingga dua belas jam sehari supaya dapat uang tambahan, dan tidak merasa terpaksa melakukannya, semua demi bisa bernapas lebih leluasa.
Uang sama pentingnya dengan udara bagiku, lebih banyak uang, lebih leluasa aku menghirup udara dan bernapas.
Dengan pekerjaan ini, aku merasa hidupku sudah lengkap. Tidak berlebihan, tapi lebih dari cukup. Aku pernah tidak tahu harus makan apa, pernah berpikir mengais sisa makanan di tong sampah, hampir berpikir untuk pulang tapi kuurungkan bukan karena malu, tapi karena belum tentu keluargaku menerimaku kembali.
Sekarang, paru-paruku berfungsi dengan baik, lambungku bekerja optimal dengan asupan makan dan minum yang cukup, tubuhku beristirahat nyaman di bawah atap yang tak bocor, aku tahu untuk apa aku bangun pagi setiap hari, tagihanku terbayar, ada sisa uang untuk akhir bulan, dan dana cadangan kalau-kalau terjadi sesuatu di tempat kerja meski paling hanya bisa membantuku bertahan beberapa minggu, aku tak berniat meminta lebih. Hidupku sempurna.
Setidaknya, jauh lebih patut kusyukuri dibanding hidup seorang pria yang terkapar tak berdaya di depan gerbang tempat tinggalku.
“Sejak kapan dia ada di situ?” aku nanya Lidia, salah satu rumah kontrakan yang pintunya dibiarkan terbuka, dan kebetulan sering kukunjungi karena penghuninya ramah.
Ia berhenti membedaki mukanya, “Nggak ngerti, diemin aja,” jawabnya. “An, kalo duit listrik udah ada, kasih aku aja, ya. Bagianmu udah kusetorin sore tadi.”
“Aduh ... makasih banget, ya, Lid. Memang aku gajiannya malam ini,” kuambil dua lembar uang lima puluh ribuan dan meletakkannya di atas televisi tak jauh dari pintu. “Kembaliannya buat ganti kemarin kamu bayarin makanan waktu kepalaku pusing.”
“Aih!” kibasnya. “Nggak usah sedetail itu, lah, sama tetangga. Tapi makasih, ya? Nolongin orang tau diri kayak kamu gini yang nggak bikin kapok.”
Aku mengulas senyum sebelum meningalkan Lidia menyelesaikan urusannya. Biasanya, dia akan berangkat kerja sekitar satu jam lagi. Aku nggak pernah nanya apa tepatnya pekerjaan wanita itu, nggak begitu penting bagiku.
Dalam perjalanan menuju rumahku, rumah Tia juga terbuka. Aku mampir di ambang pintu untuk mendengarkannya membicarakan pria yang sepertinya pingsan di depan gerbang.
“Kayaknya korban kejahatan,” kata Tia memberi tahuku, padahal aku nggak nanya. “Satpam sebelah bilang suruh diemin aja, atau lapor polisi. Soalnya dia ngelihat cowok itu dilempar keluar dari mobil hitam yang kacanya gelap semua.”
Napasku terembus berat.
Hal semacam ini bukan pertama kalinya terjadi, beberapa waktu lalu mayat seorang pria dilempar begitu saja tak jauh dari sini. Aku sendiri sebisa mungkin selalu sampai rumah sebelum larut untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Kasihan juga sebenarnya, kelihatannya pria itu masih hidup.
Semoga besok pagi dia sudah tak ada di sana.
Nggak janji bakal bagus.
Ini mama-fufu gitu pengin nulis yang bener-bener cinta-cintaan gajelas.
Don't hope too much.Kin
KAMU SEDANG MEMBACA
Max and Anna (SUDAH TERBIT)
RomanceAnna selalu merasa cukup. Baginya, hidupnya yang sederhana sudah sangat sempurna. Bukan harta berlebih yang membuatnya bahagia, melainkan saat ia mampu menentukan bagaimana ia menjalani hidupnya sendiri. Sebagai perempuan, Anna tak ingin menyerahkan...