Chapter 13
"Wow ... kamu beli kalung baru?"
Refleks, aku merenggut kancing kedua blusku yang ternyata lepas. Tapi, karena Bagus telanjur melihat, aku tak bisa menyembunyikannya lagi. Dia menyentuh bandulnya dengan hati-hati untuk diteliti lebih dekat.
"Huruf A," bibir tebal kecilnya menggumam. Perlahan, mata bulat yang semula meneliti cermat bandul kecil di ujung jarinya itu beralih melirikku dengan curiga. "You don't buy things like this. Dari si dia?"
Aku mengembuskan napas kasar dan cowok itu terpaksa melepas bandul kalungku saat aku memakai celemek melewati leher. Bagus kadang terlalu ingin ikut campur. Bukan hanya itu, suaranya melengking sehingga sebagian orang di dapur, termasuk Riko yang baru datang, pasti bisa mendengarnya. Sayangnya, Bagus sangat baik, jadi aku tak enak mau menghardik.
"Gus," panggil Riko seraya mendekat. "Bisa tolong cek stok? Di freezer sini kayaknya sandung lamurnya udah menipis. Siapin, ya, persediaan asap-nya nggak akan nyampe besok kalau hari ini nggak mulai diproses."
"Oke, Bos," sahut Bagus cekatan dan dalam sekejap meninggalkanku sendirian.
"Kalung baru?" Riko mengarahkan tatapan ke bawah leherku. Aku segera menyembunyikan dan mengancingkan blus sampai leher.
"Berapa menurutmu harganya?" aku balas bertanya.
Riko mengambil seperangkat pisau pribadinya dan mulai memilih dengan apa dia akan bekerja pagi ini. "Berapa gram?"
Aku tak tahu.
"Apa dia sudah kembali ke keluarganya?"
Kuterima uluran pisau dari Riko, dia memintaku membantu mengasahnya. Restoran baru buka dan kami belum menerima order, sudah menjadi tugasku membantunya bersiap-siap.
Dan karena aku tak menjawab, dia menyimpulkan sendiri, "Kerja apa dia?"
Aku hanya bisa mengulas senyum untuk membatasi percakapan kami, sepertinya Riko mengerti. Dia kembali menjauh untuk menghampiri Bagus memeriksa keperluannya yang lain.
Aku juga sudah tak tahu lagi apa yang dikerjakan Max di luar sana. Kalau terlalu menyelidik, aku takut dia terganggu, dan aku merasa bukan lagi urusanku. Maksudku ... aku bisa bertanya banyak saat dia bergantung padaku, tapi setelah dia bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri, bahkan membantuku membayar ini dan itu, aku tak enak terlalu ikut campur.
Ini baru masuk minggu ketiga dia menjalani pekerjaan barunya. Hampir setiap hari aku pulang dan merasa terkejut melihat barang baru yang dibawanya dari luar. Pertama kipas angin bekas yang masih bagus, lama-lama isi kulkas yang selalu penuh. Dia hanya bilang, tip-nya besar dan dibagi sesama petugas keamanan saja, tidak dengan seluruh karyawan seperti peraturan yang berlaku di sini. Puncaknya, dia memberiku sebuah bungkusan kecil sebelum aku meninggalkan rumah tadi pagi. Isinya kalung dengan inisial namaku.
Barang murah, katanya. Tapi aku langsung tahu kalung yang dipakaikannya di leherku ini terbuat dari emas sungguhan. Dia tahu aku curiga, tapi memintaku tenang. Aku tidak akan merusak kepercayaanmu, Anna, mulutku pun bungkam.
Dari tempatku mengasah pisau, aku bisa melihat Bagus dan Riko berbisik-bisik. Bagaimanapun mereka berusaha memperlihatkan sikap wajar seolah sedang mengecek persediaan daging, aku tahu mereka tengah membicarakanku. Baru kemarin Bagus menegur gara-gara aku tidak mengambil gaji dua mingguan sampai hari berganti, aku lupa sama sekali. Aku sendiri baru sadar, aku sama sekali tidak kehabisan uang, malah iuran macam-macam seperti listrik dan air sudah terbayar.
Bukannya aku meremehkan, tapi berapa penghasilannya?
"Kamu nggak nanya, An?" Bagus menghantuiku lagi. "Kalau dia terlibat sesuatu, aku yakin kamu juga akan ditanya-tanyai sama polisi—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Max and Anna (SUDAH TERBIT)
RomanceAnna selalu merasa cukup. Baginya, hidupnya yang sederhana sudah sangat sempurna. Bukan harta berlebih yang membuatnya bahagia, melainkan saat ia mampu menentukan bagaimana ia menjalani hidupnya sendiri. Sebagai perempuan, Anna tak ingin menyerahkan...