Are You Jealous?

14.1K 2.3K 166
                                    

Chapter 9


Sebenarnya, aku tidak perlu sekhawatir itu. Kalau orang lain yang belum mengenalnya saja memercayainya, kenapa aku harus takut? Lidia bahkan berani menjadi penjaminnya, seharusnya aku cukup yakin dia tak akan menyalahgunakan pekerjaannya, bukan? Lagi pula, aku tak bisa memungkiri, sekarang mungkin keadaan finansialku tak terlalu terganggu dengan kehadirannya, tapi entah apa yang terjadi satu, atau dua bulan mendatang. Aku nggak mengharapkannya tinggal di rumahku sampai selama itu, tapi ini sudah seminggu lebih dan belum ada kabar dari kepolisian.

Ingatannya pun tak menunjukkan kemajuan apa-apa, Max malah sepertinya sudah tak peduli sama sekali dia akan ingat kembali, atau tidak. Kalau aku bertanya, dia langsung tampak putus asa. Aku tak pernah menanyakannya lagi, kupikir kalau dia ingat sesuatu, dia pasti akan bilang sendiri. Tak mungkin dia tak memikirkan, atau mencoba mengingat, aku tak perlu menambah bebannya.

"Sudah mau pulang?" Riko bertanya saat aku kedapatan melirik jam di dinding sambil melepas celemek. Shift-ku sih sudah berakhir setengah jam lalu karena masuk pagi.

"Hari ini hari pertama Max masuk kerja," Bagus menyahut.

Riko termangu sebentar, dan sepertinya baru ingat aku sudah cerita tentang nama panggilan baru si pria hilang ingatan. "Oh ... okay ... hati-hati di jalan," katanya, kemudian tanpa jeda ia menyambar pesanan selanjutnya sambil memberi perintah. "Eka, buruan take over stan Anna, two pork belly sandwich, two chili brisket with corn bread."

Bagus memberi isyarat supaya aku lekas pergi.

Normalnya, kalau habis libur, orang dapur bekerja lembur. Tak terkecuali aku. Memang tak ada aturan tertulis, tapi seperti sudah tradisi. Aku sudah ngasih tahu Maya dan dia sama sekali nggak keberatan. Semua orang termasuk Riko tahu Max sudah dapat pekerjaan, kemarin aku mengajaknya merayakan kabar gembira tersebut dengan makan siang di sini. Hitung-hitung memanfaatkan diskon hari libur karyawan yang belum pernah kupakai sebelumnya.

Memang sih aku tak harus pulang cepat, tapi aku ingin.

Max bilang dia berencana berangkat pukul tujuh malam supaya sampai sebelum waktunya di hari pertama masuk kerja. Dia akan mulai aktif pukul sembilan karena tempat kerjanya baru buka pukul sepuluh malam. Kalau segalanya berjalan lancar, kami mungkin akan jarang bertemu.

Aku mengecek ponsel sebelum melompat ke bus yang akan membawaku pulang.

Jalanan macet seperti biasa, tapi masih sesuai perhitungan waktuku. Entah mengapa, aku merasa seantusias saat mendapat pekerjaan serius pertama kaliku di Jakarta dulu, padahal bukan aku sendiri yang mengalaminya.

Max bisa dikatakan orang pertama yang dekat denganku, orang asing pertama yang makan malam di meja lipatku. Dia juga pria pertama yang kuajak makan malam berdua di restoran tempatku bekerja, membuatku menghabiskan jatah makan beberapa hari dalam sekali santap tanpa membuatku merasa menyesal membelanjakannya. Dia mampu membuat pipiku merona dengan menukar irisan tomat yang tak kusukai dengan beberapa keping kentang goreng yang disukainya, memberiku alasan buat cepat pulang karena akan ada yang menantiku di rumah. Saat kami berjalan bersisian menyusuri malam karena rupiah terakhir yang kubawa habis untuk membayar tagihan makanan, jantungku berdebar hanya gara-gara sentuhan samarnya di punggung saat mengganti posisiku ke sisi kirinya. Dia bertanya banyak hal yang tak pernah kubagi dengan siapapun karena tak ada yang ingin tahu tentangku sebelumnya.

Begitu turun dari bus, aku berlari kecil.

Aku tak pernah berlari kecuali terpaksa, salah satunya kalau aku harus mengejar jam kerja agar tak terlambat. Lima menit terlambat tanpa pemberitahuan, Maya menarik denda sepuluh ribu rupiah yang sudah kami sepakati bersama. Aku tak suka kehilangan uangku, kalau dipikir-pikir aku tak pernah membuang uang, atau waktuku untuk orang lain.

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang