In Your Arms

10.4K 2.3K 116
                                    

Chapter 14

Saat dia pergi, aku tahu aku tak ingin kehilangannya.

Di dalam rumah, aku duduk di atas kasur lipat yang dihibahkan induk semang setelah tahu Max hanya tidur beralaskan karpet setiap malam. Sampai setengah jam kemudian, aku tidak melakukan apa pun. Tak ada suara teve yang selalu kunyalakan setiap masuk rumah untuk mengusir kesunyian, aku juga tak lekas ganti pakaian seperti biasa. Hanya duduk, melamun, mencoba mengingat kembali bagaimana rasanya tinggal di sini sendirian bertahun-tahun lamanya. Jika Max mulai lelah dengan kecurigaanku, sedangkan dia mulai bisa berdiri dengan kakinya sendiri bagaimanapun caranya, bukan mustahil dia akan pergi dari sini.

Bagaimana kalau dia jujur?

Bagaimana kalau memang nasibnya jauh lebih baik dariku saat memulai hidup sendiri di kota ini? Mungkin dia bertemu orang-orang baik yang dengan senang hati menolong, mungkin dia mendapat momen-momen tepat untuk melakukan sesuatu yang kemudian mendekatkan dirinya pada kesempatan dan keberuntungan selanjutnya, terus menerus hingga hidupnya terlihat mudah dan tak masuk akal.

Dia hanya ingin membuatku senang.

Di luar keinginannya untuk membantuku karena sudah merepotkannya, tapi kue ulang tahun itu, perpindahan jam kerja supaya bisa tetap punya waktu bersamaku, kemudian kalung ... jelas itu bukan untuk membalas budi atas pertolonganku. Itu dilakukannya untuk membuatku bahagia. Aku meraih tasku.

Aku akan menyusulnya.

Aku tidak akan tahu perasaannya kalau tak dengan jelas bertanya. Jika aku menunggu, aku yakin momennya tak akan sama lagi. Aku bisa saja berubah pikiran kalau hanya menunggu, mendiamkannya seperti nasib ciuman malam itu. Tiba-tiba aku teringat, sesudah menciumku dia sempat meminta maaf; bukan hanya tak bisa memberiku hadiah, dia justru mencuri ciumanku. Malam itu aku menggeleng saat dia bertanya apa aku keberatan dikecupnya, tapi aku tak pernah bilang; meski tak berani berharap, aku memikirkannya. Kalung itu mungkin hadiah yang selalu ingin ia berikan, tapi mengapa ia memintanya kembali?

Aku baru sampai gerbang saat induk semang menyongsong dari arah berlawanan. Kami sama-sama terkejut.

"Anna, kamu mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya sambil menahan kedua lenganku mencegahku melesat pergi.

"Ada urusan sebentar," jawabku gelisah.

"Aku mau bicara sebentar sama kamu, sebentar aja. Lima menit," pintanya. "Kamu dikejar waktu? Mau ke mana?"

Aku memang tak dikejar waktu, tapi perasaanku sudah menggebu-gebu ingin segera bertemu Max dan meluruskan pertikaian ini, mungkin lima menit tak akan mengubah apapun. "Mau ke tempat Max, dia ketinggalan sesuatu."

"Oh ..., kebetulan, memang itu yang mau kuomongin, An ...." Jari-jari gempalnya saling remas. "Begini, aku tadi lihat dari kejauhan kayaknya kalian bertengkar, aku jadi tak enak hati. Apa gara-gara ucapanku tempo hari?"

Aku belum sempat menjawab apa-apa.

"Dengar ya, aku sebenarnya nggak masalah dia di sini. Bukan juga masalah uang, atau apa. Kamu sudah mengontrak, jadi bukan urusanku sebenarnya berapa orang yang menempatinya, atau siapa ... kalian juga sudah sama-sama dewasa. Kamu sudah tinggal di sini sekian lama dan nggak pernah macam-macam. Kalau kalian bertengkar gara-gara itu ... sampaikan pada Max aku minta maaf."

Ketegangan di wajahku perlahan meluruh.

Sebagian bebanku rasanya terangkat, meski yang berkecamuk sebelumnya bukan masalah itu sama sekali. Mungkin sedikit, tapi bukan itu.

"Putri agak nyalahin aku, harusnya aku nggak ikut campur. Max orang yang baik, siapapun dia ... dia pasti orang yang baik. Selama ngantar jemput Putri, dia nggak pernah menunjukkan gelagat aneh, mencurigakan, dia malah banyak bantuin dia. Maaf, aku hanya agak terpengaruh dengan omongan orang-orang sini. Selama ini orang ngontrak di sini silih berganti, bisa saja mereka punya latar belakang berbeda-beda yang juga tak kita ketahui, kan? Apa bedanya dengan Max. Iya, kan?"

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang