We Need to Call You Something

10.6K 1.9K 177
                                    

Chapter 6

Begitu aku kembali ke dapur, bukan hanya pekerjaan yang menantiku, melainkan sembilan pasang sorot mata yang memincing penuh curiga milik para penghuni dapur. Aku pura-pura biasa saja, mengenakan celemek seolah tak terjadi apa-apa, dan bersikap tak peduli sampai kemudian Riko membuat-buat belahak yang bikin aku nggak kuat menahan tawa.

"He's cute!" Katrin menyambar dua piring yang sudah siap saji, lalu menghilang dari dapur.

"Apa yang terjadi?" Bagus menyela. "Jadi semalam dia balik ke rumahmu, atau ke rumah induk semang?"

Aku membaca rangkaian pesanan yang harus kutangani selanjutnya dan menyampaikannya pada head chef, Riko. "Dia ke rumahku," jawabku untuk pertanyaan Bagus dan mulai menerima perintah Riko.

"Teruuus?" entah berapa orang yang bertanya begitu secara serempak.

"Teruuus ... aku bantu dia bersihin lukanya, dan nawarin dia makan malam."

"Teruuus?" Riko ikut-ikutan.

"Tapi dia tidur di rumah induk semangmu, kaaan?" selidik Bagus sampai mengintip mukaku yang sedang konsentrasi memarinasi sepotong daging segala. Aku hanya mengedikkan bahu menggodanya yang setengah mati penasaran, tanpa menjawab.

"Ya ampun!" Maya memekik menyimpulkan diamku. "Kamu biarin dia tidur di rumahmu?!"

"Are you freaking serious?!" Suara Bagus nggak kalah melengkingnya. "Kamu nggak takut diapa-apain, An? Kamu kan orang yang selalu hati-hati ...."

"Yah aku ..."-sambil terus menyibukkan diri-"memangnya aku punya pilihan lain? Masa aku mau nyuruh dia tidur di luar?"

"Tapi ... nothing happened, kan?" Riko bertanya dengan nada khawatir.

"Nggak ada lah!" sahutku mulai nggak tahan dijadikan sasaran bulan-bulanan. "Soalnya ... dia nggak kelihatan seperti orang jahat. Coba pikir, kalau dia nggak benar-benar lupa ingatan dan berniat jahat, ngapain dia mau dibawa ke kantor polisi? Itu satu. Dua, dia baru kembali ke rumahku saat tahu aku sudah pulang karena dia khawatir merepotkan orang lain-"

"Jadi dia memutuskan merepotkanmu saja, gitu?" Eka meledek. "Yah aku juga bakal gitu, sih, mending ngerepotin kamu ada manis-manisnya daripada ngerepotin induk semangmu yang kayak land lord-nya Kungfu Hustle!"

Aku mengumpat geli sebelum melanjutkan, "Tiga ... dia ngembaliin sisa uang yang kuberikan pagi sebelumnya supaya dia bisa pulang dan makan. Menurutku ... ngapain dia ngembaliin uang, kan? Ya aku tahu kalaupun dia nggak ngembaliin bukan berarti dia jahat, tapi ... aku nggak tahu ... menurutku itu ... menyentuh aja... dia jujur. Dia juga menyenangkan diajak ngobrol. Aku sudah lama nggak mengobrol selain dengan kalian, itu pun selalu soal ...."

"Daging sapi ...," sambung Bagus.

"Kentang goreng atau kentang tumbuk ...," sahut Riko sambil mengintip kaca ovennya.

Semua orang tertawa.

"Well ... everybody needs friends," kata Riko, membersihkan tangannya di celemek. "Nanti aku suruh orang rumahku bawain dia baju-baju yang kamu minta. Ingat, kita selalu dukung kamu. Kalau ada apa-apa, jangan segan kasih tahu. Dan kalau dia ternyata nggak seperti yang kamu pikir ... jangan nunggu buat ngusir dia. Okay?"

"Okay ...."

"Lagian ... kalau orang yang terkapar di depan gerbang rumahku seseksi itu, aku juga pasti ngelakuin hal yang sama kayak kamu, An!" Maya membuat suasana dapur makin gaduh.

Tanpa mereka tahu, mataku berkaca-kaca gara-gara dukungan kecil barusan. Sepertinya, hanya aku saja yang selalu merasa sendiri. Walaupun hubungan kami hanya teman kerja, diam-diam ternyata kami membangun ikatan tanpa kusadari. Aku sempat berpikir untuk menyembunyikan niatku membiarkan si pria hilang ingatan tinggal sementara di rumah, bisa saja tak semua orang memandang baik inisiatif semacam itu. Dia orang asing, terlebih lawan jenis. Aku nggak menyangka mereka dengan cepat memercayaiku.

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang