The Girl with Kind Heart

12.2K 2.1K 111
                                    

Chapter 5

Aku tidak tahu perasaan apa ini.

Pertama kalinya sejak entah kapan, aku mematikan lampu kamar dan tidak langsung tidur sepuluh menit kemudian. Dadaku berdebar-debar. Selama ini kupikir aku bukan orang yang baik sehingga ketika pria hilang ingatan itu dengan lugasnya memuji, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Sebaliknya, aku egois. Apapun alasannya, aku sudah meninggalkan keluargaku, dan bersikeras hidup sendiri tanpa berhubungan lagi dengan mereka. Kuputuskan tak membebani tapi tidak dengan cara menikahi pria acak yang dipilihkan ayahku, sebagai gantinya tak sedikit pun aku berniat membantu kesulitan mereka. Diam-diam meski tak pernah kuakui bahkan pada diriku sendiri karena takut kecewa jika tak terwujud, aku masih punya impian melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Dengan penghasilanku sekarang, itu berarti aku tak akan pernah mengirim sepeser pun untuk ibu dan adik-adikku. Aku menghitung semua pengeluaranku, berbuat baik tak pernah ada dalam pembukuan keuangan sederhana yang kucatat setiap hari.

Aku tidak pantas disebut baik hanya karena aku membelikannya perban, membersihkan luka, dan membelikannya lauk makan malam.

Kakiku menapak di tanah dan perlahan melangkah keluar kamar. Lampu ruang depan masih menyala.

Mulutku membuka hendak memanggilnya, tapi baru ingat dia bahkan tak punya nama. Lagi pula, apa yang akan kutanyakan? Apa yang ingin kuluruskan? Aku mendekat, ternyata pria itu sudah lelap. Tidurnya sangat nyenyak meski hanya beralaskan karpet tipis dan berselimut kain kumal yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.

Apa ruginya membiarkan seseorang menganggapku baik meski aku sendiri tak yakin apa aku pantas? Mungkin justru kini aku punya alasan untuk benar-benar menjadi orang baik? Mulai peduli pada pengemis yang selalu berharap aku menyisihkan sedikit uang setiap kali aku melewatinya, atau menghibahkan steak sisa yang meski masih enak tapi sebenarnya sudah bosan memakannya?

Aku mematikan lampu ruang depan dan kembali ke kamar.

Saat wakerku berbunyi bertepatan dengan fajar menyingsing, aku mendengar sesuatu berdenting dari arah dapur.

"Selamat pagi."

Jantungku nyaris copot. Kuremas dadaku saat membuang napas kuat-kuat. Aku lupa sama sekali mengizinkannya tidur di dalam rumah semalam. Melihatku tersengal di depan pintu kamar, pria itu malah tersenyum lebar.

"Kamu ngapain?" tanyaku.

"Oh apa kamu keberatan?" dia balik bertanya. "Aku mau bikin nasi goreng dan telur dadar, kamu punya semua bahannya di kulkas."

"Masa?" aku heran sendiri.

"Iya, nasi goreng biasa. Apa kamu lebih suka telur mata sapi?"

Aku masih takjub melihatnya begitu luwes dan santai di rumah orang. Mungkin dia benar-benar sudah menikah dulunya, senang membuatkan sarapan untuk istri dan anaknya karena dia suami yang baik. Dan menurutku dia sangat pandai menggunakan pisau. Saat memotong bawang merah, dia bahkan menggunakan teknik dua jari di atas objek yang dipotong, dan hanya dengan pisau dapur sederhana hasil potongannya sangat seragam.

"Kamu bisa masak," kataku gamang.

Dia termangu mendengar ucapanku, lalu berhenti memotong dan menoleh. "Benar juga," gumamnya.

"Mungkin kamu koki?" Aku meneliti hasil potongan bawang dan cabenya, dia tertawa kecil menganggapku bercanda. "Serius. Riko bilang, semua orang bisa menggunakan pisau, tapi terampil adalah soal teknik. Siapa tahu kamu sebenarnya koki, kalau enggak ... kamu nggak mungkin mengiris semahir ini."

"Ini hanya mengiris," katanya enteng.

"Tunggu dulu, mungkin kita bisa googling, siapa tahu mereka punya informasi tentangmu kalau kamu memang koki, kan? Benar juga, kenapa nggak terpikirkan sejak kemarin?!" pekikku seperti orang paling pintar di dunia.

Max and Anna (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang