Chapter 4
Tia langsung pulang begitu tahu siapa yang datang, aku nggak yakin dia sebenarnya buru-buru karena acara kegemarannya sudah tak menarik lagi seperti yang dia bilang saat berpamitan, atau tidak tahan segera ingin memberi tahu yang lain.
Pria itu terlihat lebih lusuh daripada tadi pagi saat kutemukan duduk di teras. Wajahnya kusam, perbannya berantakan. Pakaiannya apalagi. Tanpa pikir panjang, aku menyuruhnya masuk untuk membersihkan diri. Syukurlah, pakaian kakak sepupuku yang tertinggal beberapa waktu lalu saat menginap menanti tes akhir pekerjaannya di Jakarta tampak seukuran dengannya. Dia mendapatkan pekerjaan itu, dan seperti layaknya tabiat saudara saat tak lagi membutuhkan bantuan, mereka tak pernah kembali.
Kali ini paling tidak aku bisa menghibahkannya pada seseorang yang jelas membutuhkan.
"Thanks," ucapnya. "Aku seperti terlahir kembali. It's s refreshing."
Gigi-gigiku menyengir. Pilihan katanya memang berbeda dari kebanyakan orang yang pernah kukenal, mungkin dia berasal dari keluarga berada, atau memang seperti itulah kebanyakan orang kota bicara. Aku memang tinggal di kota, tapi rasanya aku tak pernah benar-benar membaur. Kuambil perban dan pembersih luka yang tadi kubeli.
"Kamu tidak ingat sesuatu?" tanyaku.
Dia mendesah, lalu menggeleng.
"Apa kamu kembali ke kantor polisi?"
"Dua kali," jawabnya. "Maaf, aku nggak pakai uangmu untuk kembali ke sini karena aku nggak tahu harus kemana. Aku berjalan-jalan, siapa tahu ada yang mengenalku, atau ada sesuatu yang kukenal, tapi tak ada sama sekali. Kantor polisi juga tidak mendengar, atau menemukan sesuatu, belum ada yang melapor ...."
"Mungkin besok," kataku pendek. "Kalau kamu nggak keberatan ... biar kulihat sebentar lukamu."
Matanya yang mirip bentuk butiran sempurna kacang almond mengerjap menyadari aku baru saja membeli semua perlengkapan itu dari plastik pembungkusnya. Sambil membiarkanku menyentuh kepalanya, dia termangu, "Apa kamu selalu sebaik ini pada orang malang seperti aku?"
"Tidak banyak orang malang di antara orang-orang malang," kataku serius. "Aku cuma prihatin pada cara ibu membalut lukamu tadi pagi."
Dia tertawa kecil.
"Sudah kuduga lukamu seharusnya dijahit, mungkin agak perih kalau dibersihkan," aku mengernyit sendiri. "Besok sebaiknya kita bawa ke puskesmas biar bisa diperiksa lebih teliti."
"Apa mereka mau memeriksa seseorang tanpa identitas?"
"Kamu bawa copy keterangan dari polisi soal laporanmu, kan?" tanyaku tanpa perlu jawabannya. "Kalaupun membayar, mungkin tak seberapa kalau ke klinik kecil, atau puskesmas."
"Aku nggak bisa merepotkanmu terus."
Aku membasahi kapas dengan pembersih luka.
"Terutama setelah aku sempat menyinggungmu di depan kantor polisi tadi siang ....," imbuhnya.
"Tahan, ya?" kataku sebelum mengusap sekitar luka di belakang kepalanya dengan hati-hati. "Semoga polisi segera mendapat informasi tentangmu. Maaf, tapi aku benar-benar tak bisa membantu lebih dari ini."
Aku tak pernah terikat secara emosional dengan seseorang. Kali ini pun, setengah mati aku berharap supaya aku bisa tak memedulikannya. Namun, dia sendiri yang duduk di teras rumahku, bukan di teras rumah pemilik kontrakan yang dengan sukarela membantunya semalam. Terlebih, aku membeli peralatan merawat luka gara-gara setetes darah yang merembes dari perbannya tak bisa kuusir dari ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Max and Anna (SUDAH TERBIT)
RomanceAnna selalu merasa cukup. Baginya, hidupnya yang sederhana sudah sangat sempurna. Bukan harta berlebih yang membuatnya bahagia, melainkan saat ia mampu menentukan bagaimana ia menjalani hidupnya sendiri. Sebagai perempuan, Anna tak ingin menyerahkan...