Festival

4.7K 577 20
                                    

"Aduuh, Benjamiin, kenapa itu perutmu?" Ibu Ben sampai turun dari mobil saat melihat Ben memijit perutnya, berjalan bersama Gibran.

Gibran sedikit merasa tak nyaman melihat ibu se-protektif ini. Ia berpandangan bahwa Ibu Ben terlalu mengekang kehidupan Ben, mulai dari menjemputnya tiap hari, tingkahnya, dan lainnya. Namun pikirannya itu cepat-cepat dibuangnya, ia diajari untuk jangan mengasumsi terlalu cepat.

"Tadi kepentok meja, lagi makan." tutur Ben malas dan masuk ke mobil, tanpa melihat Gibran.

"Makasih ya kamu... Udah nemenin Ben."

"Gapapa tante. Tadi saya cuman ketemu di lorong, terus jalan kesininya bareng deh..." Gibran tak ingin Ibu Ben tau bahwa mereka berdua dihukum karena berkelahi di kantin, dan bukan haknya juga untuk memberitahu itu kepada Ibu Ben.

"Kamu Gibran kan? Yang kemarin jalan sama Ben?"

"Iya tante..."

"Nah, hari ini ya ke rumah tante? Makan malam? Sebagai ucapan terimakasih tante."

"Tante gausah repot-repot... Lagian saya bawa motor, nanti gimana?" Gibran menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Terdengar Ben mendesah memanggil Ibunya, mengisyaratkan 'gausah lebay ma' .

"Ben! Gatau terimakasih banget kamu!" celetuk Ibunya, Ben berdecak.

"Mau ya? Motor-mu biar dibawa sama Pak Sirlan, supir tante." lanjutnya.

Gibran tak tahu harus bilang apa, tante ini mau repot-repot membawanya ke rumahnya, hanya untuk makan malam. Belum pernah ada orang yang sebaik Ibu Ben kepadanya. Apakah semua teman Ben seperti ini? Entahlah. Namun, Gibran juga tak tega membeli makan sendiri dengan uang di atas meja rumahnya, mengingat Ayahnya pasti memberikan uang itu tanpa menyisakan untuk dirinya sendiri.

"Ma-Makasih ya tante..."

Ibu Ben mengangguk dan tersenyum puas, menyuruh supirnya untuk membawa motor Gibran, lalu mengajak bocah itu masuk kedalam mobil, duduk di sebelahnya yang mengemudi.

Ditengah perjalanan canggung itu, Gibran melihat keluar jendela dan mengetuk-ngetuk pahanya.

"Ben gimana di sekolah?" Ibu Ben menoleh kearah Gibran.

"Mmm, saya adek kelasnya, Tan..."

Ibu Ben terkejut, "Oh ya? Kamu adek kelas? Lebih dewasa kamu ya daripada Ben." ucapnya melirik anaknya yang bertopang dagu dibelakang.

Gibran hanya terkekeh, merasakan pasti Ben menggeram di dalam hati, semakin membuat suasana lucu baginya.

Pertanyaan-pertanyaan yang standar dilontarkan Ibu Ben, yang kini Gibran tahu namanya—Cecil—untuk membunuh waktu.

Langit sudah mulai menggelap, mereka sampai di depan gerbang yang terbuka, memperlihatkan rumah keluarga Ben yang megah, berpilar tinggi dan bernuansa klasik, Gibran kagum, tak pernah ia melihat rumah Ben. Catnya berwarna putih terang, dan kuning pucat di beberapa bagian, serta lampu-lampu besar berpancar emas memberikan kesan mewah yang menakjubkan.

Mereka turun dari mobil, dari kejauhan, supir Cecil memakirkan motor Gibran dekat taman. Lalu, mereka masuk kedalam rumah.

"Anggap rumah sendiri ya Gibran..." ujar Cecil membuka jaketnya dan menggantungnya di sebuah pengait khusus jaket dan mantel.

Good Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang