Air

3.9K 465 27
                                    

Hari berganti, namun pemandangan di depannya tak kunjung berubah, dua mangkuk soto mengebul dilengkapi Rosalind dan Miko bermesraan tak kenal tempat. Gibran merasa muak dan ingin berteriak di depan mereka, namun seperti tak pantas melakukannya.

Sudah 2 hari berlalu setelah Cecil membeberkan berita tentang Benjamin. Sudah 2 hari pula ia tak mendengar kabar dari Ben, terakhir kali ia berkontak mata dengannya adalah hari Sabtu, saat ia sedang melenggang di kantin bersama gerombolannya.

Gibran yakin bahwa Ben melihatnya, bahkan menyadarinya duduk dimana, bersama siapa, bahkan mungkin Ben tau Gibran makan apa. Namun, Ben menutupinya seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Gibran juga belum yakin apa yang dirasakannya, terlebih perkataan Cecil tentang Ben. Sebuah tanggung jawab yang cukup besar jika Gibran memutuskan untuk menjadi teman Ben dan menjaganya di sekolah.

"Gib, udah yuk ke kelas." ajak Ros.

Gibran mengangguk dan mendorong sedikit mangkok sotonya, lalu mengikuti Ros dan Miko yang mengantarkan tuan putrinya ke kelas.

Tubuh Miko yang tinggi menjulang seakan menutupi seluruh badan Ros saat dilihat Gibran yang berjalan dibelakangnya. Miko adalah murid kelas 12, sama seperti Ben. Jika tidak bersama Ros, Miko mungkin juga sama bandelnya dengan Ben.

Saat melewati lapangan, mata Gibran tertuju pada Ben yang sedang terduduk di ujung lapangan bersama beberapa temannya, terlihat terengah-engah, nampaknya ia baru saja memenangkan sebuah pertandingan bersama temannya.

Sesekali Ben menarik kaos hitamnya untuk menyeka peluh di keningnya. Otot-otot perutnya yang basah dan mengkilap menjadi bahan obrolan bagi beberapa adik kelas perempuan yang naksir sama Ben. Mata Gibran justru tertuju pada memar di perutnya yang sudah mulai pudar. Sudut bibir Gibran terangkat, perasaan lega dirasakannya setelah melihat memar Ben yang membaik.

"Oy! Mik! Ayolah sekali!" seorang dari lapangan mengacungkan jari telunjuknya ke Miko, untuk bermain bersama, satu pertandingan saja. Miko otomatis melihat ke Ros yang langsung memperbolehkannya bermain bola.

"Gib, temenin gue yuk? Atau mau ke kelas aja kita?" tawar Ros.

Melihat Ben yang diangkut teman-temannya berdiri, dan bersiap untuk main lagi,

"Yaudah tanggung, tungguin aja." tutur Gibran yang mengambil tempat duduk di bangku panjang tepat di pinggir lapangan.

Dibawah pohon yang cukup rindang untuk menutupinya dari sinar matahari, Gibran menyaksikan seorang Benjamin Wicaksono beraksi di lapangan.

Seragam putihnya digantung di tiang gawang bersama baju-baju putih lainnya. Menyisakan kaos hitam yang punya daya tarik tersendiri jika dipakai, lengkap dengan tendangan-tendangan maut yang memekikkan telinga, Ben dengan lincah bergerak kesana-kemari memainkan bola.

Hari semakin terik, namun tak menghentikan semangat Ben yang sudah mencetak 2 gol. Ya, Gibran memang memperhatikan dengan seksama. Sampai tubuhnya tersentak sedikit saat Ben mencetak gol, seolah menahan kegembiraannya.

Berbicara tentang kegembiraan, raut wajah Ben kali ini tampak lebih segar dan nyata, tak lesu dan loyo. Walaupun keringatnya bercucuran dimana-mana, seolah membuatnya tampak lebih memikat hari ini. Ah, mungkin hanya perasaan bangga Gibran saja.

"Eh, bokap lo balik kapan?" Ros menganggetkan Gibran yang melamun.

"Mmm, hari Kamis ini baru balik. Kenapa?"

"Engga, kalau sepi atau bosen, nanti gue bisa kesana kok."

Ros memang sangat perhatian, itu yang membuat Gibran tetap menjadi teman baiknya. Ros hanya terpengaruh hubungannya dengan Miko, sehingga ia terlihat seperti mengabaikan Gibran, namun nyatanya tidak, Ros tetap peduli dengan sahabatnya ini.

Good Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang