Fana

2.4K 272 16
                                    

Di dunia ini tidak ada yang abadi. Bunga edelweiss saja bisa layu.  Walaupun dirinya sudah berusaha untuk tetap tegar, Gibran masih saja ragu untuk tersenyum. Ia sadar, keadaan pasti berubah, mau tidak mau. Ben akan pergi, rela tidak rela.

Sudah sekitar 30 menit Gibran membantu membersihkan aula. Tamu sudah pulang semua, hanya tersisa beberapa panitia yang tengah membersihkan aula. 

"Udah, yuk, temen-temen. Kita pulang. Jangan lupa besok evaluasi ya!" ucap Dirga seraya mengajak teman-temannya pergi dari aula.

Gibran melangkah seperti orang sekarat. Peluh disingkapnya saat ia berpapasan dengan beberapa temannya. Kulitnya pasi, dan pikirannya entah kemana. Ia kembali menarik ranselnya sambil mengecek ponsel.

Ia membuka satu-satunya foto yang ia ambil dengan Ben. Sebelum berpisah, Gibran meminta untuk mengambil foto bersama di dalam mobil. Sesekali ia iseng memotret Ben, untuk kenang-kenangan pikirnya.

Sudut bibirnya terangkat ketika melihat foto-foto itu meskipun sudah berpuluh-puluh kali ia melihatnya hari ini. Foto kesukaannya adalah saat ia menekan dua pipi Ben dengan jemarinya, sehingga bibir Ben mencuat seperti ikan koi. Sejujurnya, hatinya belum bisa sepenuhnya percaya bahwa besok Ben akan pergi meninggalkannya, dan melihat foto-foto ini semakin membuatnya sedih.

"Jangan lupain apa yang pernah kita punya, Gib. Walaupun kita akan berpisah dan gak bakal bisa buat lagi kenangan itu."

Perkataan Ben tentang perpisahan terngiang-ngiang di kepalanya. Kemejanya masih harum aroma Ben yang tak akan bisa lepas dari kepalanya. Gibran bisa gila jika ini adalah hari terakhir ia akan bertemu Ben. Bagaimana pun caranya, Gibran harus datang ke bandara besok.

"Gib, mau bareng?" celetuk Dirga yang tiba-tiba datang dari belakang. Dirga seakan-akan langsung membuyarkan lamunan Gibran tentang Ben

"Ng-Ngga usah, Dir. Gua pake ojek online lagi."

"Udah jam segini emang bakal dapet?"

"Dapet kok, duluan aja." Gibran benar-benar tak ingin diganggu saat ini.

"Yakin? Kalo lo dibegal gimana?" kekeh Dirga

"Ya emang kalo sama lo gak bakal dibegal?" balas Gibran ketus

"Ya engga laah, ayo udah. Kita makan pecel yang kemar--

"Gua mau pulang sendiri, ngerti gak sih? Kenapa lo jadi maksa?"

Dirga sedikit kaget melihat jawaban Gibran. Niat hati ingin bergurau, justru Gibran salah menangkapnya. "Ng-Nggak maksa sih.. hehe.. yaudah, gua pulang ya." ucapnya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

Gibran terdiam melihat punggung Dirga semakin menjauh. Ia menghela nafas keras, ia menyesal melampiaskan emosinya yang tidak stabil kepada Dirga. Namun, ia belum bisa memikirkan hal lain. Ia hanya ingin pulang dan menangis sampai pagi.

Benar saja, Gibran tak kunjung mendapatkan ojek-nya. "Dir! Tunggu!"

--

Keesokan harinya, pagi Gibran diisi dengan perasaan gundah. Baru saja ia bangun dari tidur, perutnya sudah mulas. Entah karena sambal pecel yang ia makan tadi malam bersama Dirga, atau perasaan gugupnya menjalani hari ini.

Waktu menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Ia bergegas menuju kamar mandi dan mulai membersihkan badannya. Pagi ini cukup cerah, Agus sudah bersiap-siap berangkat ke kantor seraya membuat 2 gelas kopi untuk anaknya.

"Lho kamu nggak sekolah, Gib?" tanya Agus saat melihat Gibran keluar dari kamar mandi tidak mengenakan seragamnya.

"Kan udah naik kelas, Pa. Udah libur aku." ucap Gibran sambil mengikat sabuknya lebih erat.

Good Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang