Terpaku

3.6K 421 69
                                    

Gibran meletakkan segelas kopi hangat itu diatas meja, tepat dihadapannya yang sedang terduduk.

"Makasih." ucapnya lirih dan menyesap kopi baru buatan Gibran itu.

Gibran masih melihat pria itu, sambil mengambil kursi dan duduk didepannya.

"Naik apa?" tanya Gibran.

"Taksi online."

"Nyokap?" tanya Gibran lagi, kini melipat kedua tangannya, nampak kesal bercampur khawatir setengah mati.

"Dia gak tau."

Gibran mengusap wajahnya, "Mau ngapain disini?"

"Bosen dirumah."

Sesi tanya jawab yang singkat ini berujung hening. Gibran tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Lampu-lampu belum dinyalakan. Keduanya ditemani suara jangkrik dan penerangan seadanya dari lampu tiang diluar yang menyelinap menembus kaca cafe, serta beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang.

"Ben, lo gak bisa begini terus. Ga cuma lo yang bahaya, gua juga bisa kena imbasnya." ucap Gibran.

Ben terdiam melihat keluar kaca.

"Sekarang jujur sama gua, apa alasan lo ketemu gua?"

Ben terdiam sejenak, "Bokap gua pulang malam ini."

Gibran tersentak, betapa bodohnya pria jangkung ini. Namun ia mengubur niatan mengoceh mengingat kondisi Ben yang kurang sehat.

"Justru itu lo harus pulang dong?" Gibran menurunkan nadanya.

Ben masih terdiam, dan memilih untuk menyandarkan badannya ke kursi.

"Lo gabisa kayak gini, Ben..." Gibran merogoh tasnya dan hendak mengambil ponselnya.

SREK!

Ben merampas ponsel itu, terjadi tarik menarik antar keduanya.

"Ben--

"Dengerin gua dulu!" 

Gibran akhirnya mengalah, ponselnya berada pada tangan Ben.

"Ada sesuatu yang harus gua omongin sama lo."

Gibran hanya menarik nafas.

Nampaknya Ben sulit mengeluarkan kalimat dari bibirnya itu. Membuat Gibran semakin penasaran ada apa dengan pria ini. Berkali-kali Ben menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

"Gua bingung..."

Gibran berdeham, tak paham maksudnya.

"...sama perasaan gua."

"Perasaan apa?" Gibran semakin penasaran.

Ben melihat lekat kedua bola mata Gibran, ia membasahi bibir bawahnya yang merona itu sebelum berkata, "Perasaan gua sama lo."

Gibran membelalakkan matanya, jujur, dirinya sedikit panik. Ia berusaha keras mengontrol emosi yang bertumpuk di pikiran dan hatinya. Ia harus mulai terbiasa dengan pernyataan-pernyataan kejutan Ben.

Gibran terus memikirkan respon apa yang harus ia berikan pada Ben. Sejatinya ia merasakan hal menjanggal sejak ia bertemu dengan Ben, namun keegoisan dirinya sendiri yang menutup hal itu, seolah tak ada apa-apa.

Ben menghela nafasnya, "Gapapa, kayaknya gua harus pulang." Ia meletakkan ponsel Gibran diatas meja dan mulai mengambil langkah keluar.

"Ben, apa sih?" Gibran terseret-seret berusaha menahan Ben.

"Benjamin! Maksud lo apa sih? Lo gabisa pergi gitu aja habis lo-- Ben!!" Gibran melepaskan genggamannya karena Ben mengelak paksa.

Ben mengusap wajahnya pelan. Tak berbicara sepatah kata pun. Gibran masih terus memperhatikannya sambil memproses kejadian ini.

Good Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang