#2

14 4 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mataku membelalak kaget mendengar riuhnya suara dari alat yang menempel pada mommy.

Pikirku sudah melayang kemana-mana, tanganku memencet tombol urgent di samping brankar mommy.

Kumohon hentikan suara itu, aku tidak tahan. Hanya satu menit persekian detik mataku sudah dijatuhi airmata.

Dokter memasuki ruangan mommy, mereka menyuruhku keluar dari ruangan.

Tanganku sudah dingin, jantungku berdetak setengah mati. Bahkan tubuhku, sudah tidak kuat menahan beratnya. Tanganku merogoh saku, mencari hp untuk menghubungi daddy.

Terdengar suara tersambung disana. Disusul dengan suara daddy di sebrang.

"Halo..."

"Dad...
Aku sudah terisak ketakutan, untuk  mengatakan keadaan mommy yang bahkan aku tidak tahu.

"Ada apa dengan mommy?" Suara daddy terdengar ketakutan disana. Aku masih terisak tak tahu harus menjawab apa.

"Daddy akan segera kesana" . Sambungan sudah di matikan.

Aku benar-benar takut. Siapa yang siap jika ditinggalkan ibunya? Pasti jawabannya tidak ada. Kecuali mereka yang tidak pernah bersyukur terhadap keadaan. Aku selalu meneguhkan hatiku, saat mommy mengeluarkan kata-kata pedasnya. Seperti perintah yang berbunyi 'dia ibumu, bagaimanpun dia sudah melewati masa yang sulit saat merawatmu' kiranya seperti itu.

Setiap hal ini terjadi pada mommy, pikiranku selalu melayang pada moment yang ku habiskan bersama mommy. Rasanya aku ingin menggantikan posisi mommy, aku juga ingin terbaring di sana. Aku sudah lelah menangis.

"Han, apa yang terjadi?"

Daddy sudah berada disampingku, aku melihat bulir keringat di pelipisnya, mendengar deru nafasnya yang tidak beraturan.

Hatiku menghangat, betapa cintanya daddy pada mommy. Sampai melakukan semua ini untuknya. Bahkan dia menyayangi ku dan Jeno dengan sepenuh hati. Membiayai semua kebutuhan kita, dan yang tidak pernah di lupakan. Dia selalu menatap mommy dengan penuh cinta, tidak pernah luntur sedikit pun.

Saat aku sudah dewasa aku ingin mencari sosok laki-laki seperti daddy, yang selalu menenangkan hatiku dan membuatku merasa aman di sekitarnya.

"Hanni" dia membangunkanku dari lamunanku.

"I dont know dad, alat itu berbunyi lagi"

Aku menunggu sekitar 20 menit bersama daddy di luar ruangan. Hingga seorang dokter keluar dari ruangan tersebut.

"Saya ingin berbicara dengan bapak tentang keadaan pasien" dokter itu berbicara pada daddy.

"Baiklah"

"Mari keruangan saya"

Aku mengikuti langkah daddy, hingga daddy menghentikanku.

"Han, kamu disini saja biar daddy yang berbicara dengan  dokter. Tolong kamu jemput Jeno di sekolah"

Aku ingin memprotes jika tak mengingat janji ku kepada adik kecil ku itu. Daddy memberikan kunci mobilnya kepadaku.

"Tapi dad, aku belum punya SIM"

"Tak apa, aku tahu anakku yang cantik ini sudah jago mengedarai mobil"
Dia mengusap lembut rambutku.

Daddy yang mengajarkanku mengendarai mobil. Kata daddy aku cepat belajar saat mengendarai mobil, bahkan katanya aku akan di ajari mengendarai pesawat. Bukankah itu gila? Aku saja takut ketinggian.

-------------------------------

Ahhh, pemandangan itu lagi. Adik ku pulang dengan luka lebam di wajahnya.

Aku menarik tanganya, mengarahkan wajahnya untuk melihatku.

"Siapa yang melakukan ini?" Ucapku dingin.

"Sean bun" hatiku teriris mendengar adikku menangis, mana anak itu? Beraninya membuat Jeno seperti ini?.

"Kenapa kamu gak lawan Jen?! Kamu anak yang kuat, kenapa kamu seperti ini? Bunda gak pernah ajarin kamu jadi bocah cengeng. Kalau dia pukul kamu, kamu pukul balik. Jangan cuma diem trus nangis!?"

Jeno semakin terisak.

"Mana anak itu!?" Aku bertanya, ingin sekali aku cubit yang namannya Sean itu.

Jeno menunjuk kearah halaman sekolah. Ada seorang anak yang bercengkrama dengan beberapa temannya.

Aku menarik Jeno menghampiri mereka.

"Apa yang kalian katakan kepada Jeno?"

Ketiga anak itu kaget, sedangkan Jeno bersembunyi di balik punggungku.

"Kita tidak mengatakan apapun" jawab anak itu angkuh. Terlihat sudah anak ini sombongnya setengah mati. Pasti orang tuanya kaya dan punya kekuasaan, sehingga anaknya berlaku seperti ini.

"Kalian jangan bohong!? Kalian kan yang memukuli Jeno? Kalian pikir siapa kalian masih kecil lagaknya udah kayak pegulat. Mau jadi apa kalian jika hobby nya membully anak orang trus?" Aku sudah mendelik ke arah mereka.

"Jeno pantas di bully, dia sok pintar di kelas! Udah ga punya orang tua aja belagu!" Anak itu kembali mengeluarkan kata-katanya yang pedas dengan wajah sedingin es.

Aku sudah geram. Kucubit lengan anak itu dengan keras. Masa bodoh jika aku dilaporkan melakukan kekerasan kepada anak dibawah umur.

"Jeno punya orang tua!! Aku bundanya! Dasar tidak punya sopan santun! Kalian yang seperti tidak punya orang tua! Seperti anak brandal yang kekurangan kasih sayang!" Tanganku masih setia mencubit lengan anak itu.

Anak itu menangis memegang lengannya yang mungkin sudah membiru.

"Kakak!!!" Ucap anak itu berteriak kepada orang di belakangku.

Aku menoleh, seorang laki-laki berada dibelakangku dengan tatapan marah.

"Oh ini walinya? Saya mohon didik anak itu dengan benar! Jangan ajari dia membully teman-temannya. Jika kejadian ini masih terjadi lagi, saya tidak segan-segan melaporkannya kepada pihak sekolah"

Aku berjalan dan sengaja menabrak lenganya dengan keras, sambil menarik Jeno.

Kami kembali ke rumah sakit.

Sebenarnya aku masih ingin memarahi wali anak itu. Tapi kenyataan membuatku terkejut. Aku tidak menyangka bisa menemuinya di sana.
















"Bunda tetap tidur saja untuk saat ini, Hanni mau melaksanakan tugas Hanni dengan cepat. Dan ketika mommy bangun, mommy bisa bahagia tanpa bayangan masa lalu"





91218

For Mommy✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang