SAKA

597 52 4
                                    

Dear readers budiman ....
Cerita ini udh selesai. Untuk dukung aku yang berusaha kasih cerita terbaikku untuk kalian, please support aku dengan vote dan komen cerita ini!
That means a lot for real!
Selamat membaca!
.
.
.

Jadi, aku sudah berdiri di sini sekitar lima belas menit. Aku menatap pagar hitam menjulang di depan hidungku. Melirik dari sela-sela pagar yang terkunci rapat. Bisa kulihat pekarangannya yang luas kosong melompong. Kalau bukan karena tamannya yang terawat rapi, mungkin aku akan berpikir rumah ini tak berpenghuni. Tadi saat sampai aku sudah berusaha mencari catatan nomor telepon si pemilik rumah yang Ayah berikan padaku sebelum naik kereta, tapi sepertinya catatan itu terjatuh entah di mana.

Beberapakali aku mencari bel yang biasanya ada di sekitaran gerbang, tapi tak kutemukan. Kulongok pos satpam, tapi tak ada seorangpun di sana. Aku pun duduk di atas koper besarku yang berisi pakaian, merenungkan cara lain agar bisa masuk ke dalam rumah.

Aku memandang jalanan di depanku, memikirkan bagaimana akhirnya aku berakhir di depan rumah gedong ini. Teman Ayah datang liburan kemarin, bilang beliau mau membiayai kuliahku jika aku berkenan, dan Ayah membebaskan keputusannya padaku yang tentu saja tanpa berpikir dua kali kuiyakan saja. Setelah dipikir lagi, aku tak pernah menanyakan apa alasan yang membuat teman Ayah itu mau membiayaiku. 

Sebuah motor hitam berhenti, menghentikan lamunanku. Si pengendara menaikkan kaca helm-nya, menatapku sebentar dan berjalan melewatiku.

Oh, cowok, batinku.

Aku tak bangun dari posisi dudukku, menatap lamat-lamat cowok itu membuka gerbang dengan mudah.

Ia kembali berjalan melewatiku, kini tanpa menoleh sedikitpun, kembali menaiki motornya dan memasukkannya ke dalam area rumah yang luas. Oke, mungkin cowok itu mengira aku hanya numpang duduk di depan rumahnya saja, mungkin pemandangan seseorang dengan koper besar sudah biasa di depan rumahnya. Atau jangan-jangan cowok itu sama sekali bukan si pemilik rumah.

Lama aku menatap gerbang yang terbuka lebar di depanku, sampai seorang wanita paruh baya berlari tergopoh ke arahku.

"Punteun, Non! Maap, Bibi nggak ngecek-ngecek, nggak tau kalo Non udah dateng. Barusan Den Saka yang ngasih tau Non ada di depan rumah. Masuk, Non, masuk."

Cepat sekali wanita ini bicara hingga aku hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai jawaban. Aku berjalan menarik koperku mengikutinya, menyeberangi pekarangan dan masuk lewat pintu garasi. Ruangan bergaya American Classic dengan dominasi warna putih menyambutku di dalam rumah. Di sudut jauh bahkan aku bisa melihat perapian yang entah sungguhan atau hanya dekorasi untuk menambah kesan temanya. Sofa besar di ruang tamu berjajar rapi. Tangga pualam lebar berada tak jauh dariku menjulang menuju lantai dua yang memiliki nuansa yang sama. Rumah dengan konsep open itu penuh dengan furnitur dari lantai hingga langit-langit. Aku menatapnya takjub, memperhatikan lampu gantung besar di tengah ruangan.

"Saya Bi Sani. Pak Wira udah bilang dari seminggu lalu kalau Non Taya mau dateng. Bibi udah siapin kamar di lantai dua, yuk, naik langsung." Ia membantuku membawa tasku dan membiarkanku membawa koper.

Bi Sani mungkin seumuran dengan ibuku atau mungkin lebih tua sedikit kalau kuperhatikan dari wajahnya. Tubuhnya kecil dan langsing, untuk wanita seumurnya menurutku punya badan kurus adalah anugerah, karena biasanya jika sudah menginjak umur-umur seperti Bi Sani kebanyakan orang akan berubah gemuk entah apa alasan saintisnya.

"Bi, aku tadi ketemu cowok di depan," kataku agak melamun, sibuk melihat figura-figura berisi foto yang sepertinya adalah pemilik rumah ini.

"Itu Den Saka. Anak Pak Wira satu-satunya."

Malam&Kamu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang