BAHAGIA

133 24 2
                                    

Pagi-pagi sekali aku keluar. Pembicaraan semalam sama sekali tidak membuatku lega. Pikiranku masih berkecamuk dan sesak di dadaku belum juga hilang. Aku pikir, aku perlu mengunjungi suatu tempat yang agaknya bisa melepas semua bebanku saat ini.

Makam Ibu.

Aku pergi ke pasar sebentar. Membeli sekantung plastik bunga taburan makam dan sebotol air. Setelahnya aku pergi menuju area pemakaman umum di mana ibuku dimakamkan. Aku berjalan sendirian di pemakaman yang sepi. Si Bapak penjaga makam yang sudah mengenalku menyapa, aku membalasnya dengan anggukan pelan. Aku terus berjalan melewati deretan-deretan makam berbagai ukuran hingga sampai di makam ibuku yang sudah rapi dikeramik. Nisannya mengkilap tertimpa cahaya matahari pagi yang menerobos di sela-sela daun kamboja yang menaungi makam Ibu.

Aku berjongkok di sisinya. Kuusap nisan ibuku, membersihkan tanah yang menempel di sana. Lalu aku mulai mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di atas makam dan membersihkannya dari daun-daun kamboja yang berjatuhan di atasnya. Setelah bersih aku menabur bunga yang kubawa, menyebarnya dari atas ke bawah dan terakhir menuang air di atas tanahnya.

Aku diam sebentar, memandangi nisan Ibu.

Kinanti
Binti
Efendi
Lahir: 9 Agustus 1978
Wafat: 5 Mei 2007

Kurasakan sesuatu bergelung di perutku, lalu naik menuju dada dan bercokol di sana, membuat sesak ruang sempit di dalamnya. Tenggorokanku serasa terjepit dan kurasakan mataku memanas. Kupejamkan mataku erat-erat, sekuat tenaga kutahan tangisku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri aku tidak akan menangisi hal ini lagi. Sudah kuputuskan bahwa semalam adalah tangisku yang terakhir untuk ketidaktahuanku.

Semalam suntuk aku memikirkan perkataan Ayah. Bagaimana aku harus memeluk semuanya. Menerima bahwa aku telah berkhianat pada diri sendiri dengan membuang ingatan berharga soal Ibu. Menerima bahwa semua yang terjadi pada Ibu murni takdir dari Yang Maha Kuasa. Menerima bahwa tidak seharusnya aku menyalahkan Saka.

Menerima semuanya sebagai bagian masa lalu yang berharga meski aku tidak bisa mengingatnya!

Ayah benar. Aku tidak bisa menyalahkan Saka atas meniggalnya Ibu. Aku tidak bisa terus-menerus berpikir jika malam itu Saka tidak ada, maka Ibu mungkin masih hidup. Atau jika malam itu kami tidak datang ke pesta ulang tahun Saka, mungkin aku masih memiliki Ibu sampai sekarang. Atau malah jika Ayah sama sekali tidak mengenal Pak Wira dan tidak perlu datang ke pesta itu, mungkin aku masih bisa melihat Ibu sekarang.

Meski sulit, aku harus menyingkirkan pikiran seperti itu. Aku harus belajar mengikhlaskan. Aku tidak punya hak sama sekali untuk menyalahkan Saka atas takdir yang mengikat kami ini.

Aku memejamkan mata, menangkup tanganku dan mulai berdoa dalam hati. Dalam khidmatnya pagi kukirim doa terbaikku untuk Ibu di atas sana. Kubisikkan permintaan maafku yang sedalam-dalamnya karena melupakannya. Kupanjatkan permintaan izinku untuk mulai sekarang bisa lega menerima kebenaran dan memaafkan siapapun yang bersalah di sini.

***

Aku duduk di bawah pohon flamboyan yang rindang di atas bukit. Kurasakan angin bertiup menerpa wajahku. Kusenderkan tubuhku pada batang pohon dan kuhirup dalam-dalam udara sore itu. Di ujung ufuk barat di kejauhan kulihat matahari menggantung rendah. Cerah warna senja mewarnai langit sore itu. Sekawanan burung entah apa terbang di atas langit, menambah dekorasi indah alam yang memanjakan mata.

Seseorang muncul dari balik pohon, megambil posisi duduk di sampingku. Ia tidak mengatakan apapun, tidak juga menoleh padaku. Aku pun melakukan hal yang sama. Kami lama terdiam memandangi matahari yang terus bergerak menuju peraduannya.

Malam&Kamu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang