MAMA

154 23 1
                                    

"Gue nyariin lo," kata Saka, kini ia duduk di sebelahku.

Aku tak berani menoleh, firasatku bekata jika aku menoleh maka aku akan pingsan. Sesuatu yang sejak tadi melilit perutku kini naik ke dada, berkelindan dan memacu jantungku dengan kecepatan sepuluh kali lebih cepat. Aku tak mengerti apa yang terjadi di dalam sana, tapi rasanya sesak dan-menyenangkan?

"Gue nggak nyaman di dalam."

Saka mengangguk, "Pasti. Gue kalo jadi lo juga bakal gitu."

Aku tersenyum, merapatkan jas Saka di bahuku.

"Terus sekarang lo mau gimana?"

"Pulang. Gue boleh pinjem uang nggak buat naik taksi? Gue nggak bawa apa-apa ke sini. HP juga nggak bawa."

Saka merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya dan mendial sebuah nomor, "Pak, pesenin aku taksi... ya, depan hotel Papa... oke, makasih, Pak."

"Makasih," kataku.

"My pleasure."

Tak lama taksi pesanan Saka datang dan berhenti tepat di depan kami. Aku bangkit, meraih high heels-ku dan menentengnya. Saka ikut bangkit dan membukakan pintu taksinya untukku.

"High heels kayaknya emang nggak cocok sama lo." Ia tertawa melihatku bertelanjang kaki.

Aku mengulum bibirku, malu, aku buru-buru masuk ke dalam taksi. "Oh, pinjem ua-"

"Geser." Saka melongokkan kepalanya ke dalam taksi.

"Ya?" aku tak mengerti, dengan dahi mengerut aku bergeser ke sisi lebih dalam.

Saka duduk di sampingku dan menutup pintu, "Jalan, Pak." Ia lalu memasang sabuk pengaman.

"Lo ngapain?"

Saka menoleh, "Sabuk pengaman, Ta."

Aku mengerjap, memasang sabuk pengaman terburu, dan kembali menoleh pada Saka meminta jawaban untuk pertanyaanku sebelumnya.

Saka mengangkat bahu, "Gue juga boring di acara. Pulang sama lo lebih menarik kedengerannya."

Aku memutar otakku, mengingat kembali apa saja yang ada di pesta. Lalu aku teringat pada Bella. Sebelum aku keluar meninggalkan pesta itu, bukankah Saka sedang bersama Bella? Sebelum aku bisa berpikir apa yang harus kukatakan, mulutku lebih dulu berkata.

"Bella-"

Saka menoleh, tak bisa menyembunyikan kebingungannya, "Lo kenal Bella?"

Aku mengangguk, "Pernah ketemu di kampus." Aku berusaha untuk tidak menyebut nama Keyla, aku tak ingin Saka tahu kalau Keyla sudah melabrakku dengan alasan yang kurang jelas.

"Kebetulan, kan, itu?" Saka berkata-lebih ke pada dirinya sendiri-dengan dahi mengernyit.

"Bella nolongin gue. Dia baik. Cantik. Kalian cocok." Aku mengerutkan dahi, tak tahu setan apa yang merasukiku sampai aku berkata seperti itu. Detik berikutnya aku menyesali perkataanku, apalagi saat mendengar Saka mendengus.

"Kenapa? Lo udah denger berita gue sama Bella tunangan?"

Aku menelan ludah, mendadak mual mendengar kata tunangan itu diucapkan sendiri oleh Saka. Entahlah, sejak tadi tubuhku sedang tak beres. Semuanya diluar kontrol, aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri.

"Yah.. karena satu dua alasan akhirnya kita tunangan pertengahan tahun ini," kata Saka tak peduli.

"Oke. Gue harus bilang selamat nggak?" kataku akhirnya.

Saka tertawa, "Tunangan gue bukan sesuatu yang harus diselamatin, Ta. Percaya, deh, nggak ada embel-embel romantis dalam pertunangan ini."

Aku terhenyak. Jadi atas dasar apa mereka bertunangan kalau keduanya bahkan tak punya perasaan satu sama lain?

Malam&Kamu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang