V

128 24 0
                                    

Aku bangun pagi-pagi. Membuka jendela kamarku, membasuh wajahku dan keluar untuk menyapu halaman. Aku melihat Ayah sudah sibuk di ruang kerjanya. Ayah adalah seorang pengrajin furnitur kayu yang cukup terkenal di wilayah ini. Sering kali Ayah mendapat pesanan dari luar kota. Usaha inilah yang membesarkanku sejak dulu. Makanya sebenarnya Ayah punya lebih dari cukup uang untuk menguliahkanku. Tapi entah kenapa Ayah tak menolak tawaran Pak Wira untuk membiayai semua kuliahku hingga lulus. Aku sempat bertanya kenapa Ayah tak menolaknya, jawaban Ayah waktu hanya senyuman.

Udara dingin pagi menyerbu paru-paru dan kulitku. Aku tersenyum melihat langit yang perlahan membiru. Halaman rumahku tidak terlalu luas tapi tidak kecil pula. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk membersihkan semuanya. Sudah lama aku tak mengerjakan pekerjaan rumah seperti ini. Di rumah Saka, semua dikerjakan oleh asisten rumah tangga, jadi aku hanya leha-leha saja di sana.

Setelah selesai aku masuk ke bengkel kayu Ayah. Aku melihat dua buah kursi kayu berlengan yang sudah jadi, hanya tinggal proses finishing dengan mengahaluskan permukaannya dan mengecatnya dengan cat kayu. Ayah kini sedang mengerjakan sebuah bangku yang sama.

“Ayah mau sarapan apa?” tanyaku.
“Beli lontong sayur aja sana di depan. Uangnya di atas kulkas.”

Aku mengangguk dan segera pergi menuju warung yang menjual aneka sarapan. Tetangga-tetanggaku menyapa sepanjang jalan. Mereka bertanya bagaimana kuliahku di luar kota dan kapan aku sampai di sini. Aku menjawab mereka satu persatu dan tak lupa menyapa yang lainnya.

Si Penjual lontong sayur juga kaget melihatku pulang. Ia bertanya padaku berapa lama aku akan tinggal di sini dan kapan akan kembali ke luar kota. Aku menjawabnya satu-satu dan mengucap terima kasih padanya saat pesananku sudah selesai.

Aku berjalan pulang dan menemukan Ayah sudah duduk di dapur meminum teh nya. Aku celingukan mencari sosok Saka.

“Saka di kamar mandi.” Kata Ayah, seperti bisa membaca pikiranku.

Aku langsung bisa mendengar suara air dari kamar mandi, “Dia baru bangun, Yah?” Aku mengambil mangkuk untuk sarapan kami dari rak piring.

Ayah mengangguk, “Dia baru tidur jam 4 tadi pagi.”

Aku membelalak, “Ngapain dia?” tanyaku kaget seraya menuang lontong sayur dari plastik ke mangkuk.

Ayah menggeleng, “Nggak tau, sibuk sama laptopnya.”

Aku mengerutkan kening. Kalau aku dulu tak salah ingat. Bi Sani pernah bilang bahwa Saka punya bisnis. Aku waktu itu tak terlalu memperhatikan dan tak pernah menanyakannya lagi. Aku menebak-nebak mungkin selama ini Saka sibuk mengurus bisnis entah apanya itu. Yang membuatku bingung justru adalah kenapa Saka mau repot-repot membangun bisnisnya sendiri padahal ia adalah anak pengusaha hotel terkenal.

Saka keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya. Aku menoleh sebentar, melihat Saka kini duduk di samping Ayah. Aku berjalan kembali menuju meja makan dan menaruh sendok pada masing-masing mangkuk.

“Yuk, Saka, di makan.”

Saka mengangguk. Aku memperhatikan dari kursiku Saka yang mulai melahap sarapannya. Ayah juga melakukan hal sama. Aku pun mulai makan.

“Kamu berapa hari rencananya mau tinggal di sini, Ta?”

“Dua mingguan, Yah, kayaknya.”

Ayah mengangguk-angguk, “Kamu Saka?”

“Mungkin semingguan, Om. Kerjaanku nggak bisa ditinggal lama.”

“Kamu emang ngerjain apa? Tadi pagi baru tidur jam empat gitu.”

Malam&Kamu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang