PENGAKUAN

127 23 0
                                    

Saka keluar malam itu. Aku tak bisa mengganggu gugat keputusannya. Aku tidak mengerti mengapa Saka bersikeras untuk membuatku tinggal di rumahnya. Alasan yang ia berikan sama sekali tak masuk akal buatku. Untuk apa cowok itu perlu memantau keadaanku? Apakah karena ia sudah terlanjur mengenalku hingga menerbitkan rasa tanggung jawab? Aku bukan anak umur 5 tahun yang tak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Aku bisa tinggal di kosan yang sama dengan Risa dan Saka tetap bisa memantauku di sana. Entahlah, aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Saka-selalu.

Kuliah sudah mulai masuk. Semester dua dimulai dengan lancar. Aku tak menemui kesulitan dalam menerima mata kuliah baruku. Berbarengan dengan aktifnya kuliah, HimJur juga kembali aktif. Aku tak punya terlalu banyak waktu di rumah selama dua bulan pertamaku di semester dua. Tugas yang ada semakin banyak, aku juga harus membaca banyak sekali referensi yang bisa menunjang kuliahku selain yang diberikan dosen. HimJur juga sedang mempersiapkan acara ulang tahun jurusan, tapi sebelum itu aku juga berpatisipasi dalam acara Kampus EXPO yang akan diadakan minggu ini.

Bukan mauku untuk berpartisipasi, tapi Risa. Ia memaksaku ikut karena ada Reihan. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku tak percaya. Tapi sebagai janjiku untuk membantunya agar bisa dekat dengan Reihan, akhirnya aku setuju untuk berpartisipasi.

Semenjak ikut HimJur, aku memang jadi lebih mudah bergaul dengan orang-orang baru. Lagipula teman-teman di kuliah berbeda dengan teman-teman di SMA yang biasanya lebih suka main 'geng-gengan'. Mungkin karena kami juga sudah cukup dewasa, jadi dengan mudah mengendalikan rasa malu untuk menyapa lebih dulu.

Hari sudah menggelap sejak empat jam yang lalu, rapat untuk acara EXPO baru saja berakhir. Aku sedang menunggu di depan halte saat Kak Rei berhenti di depanku dengan motornya.

"Ta, yuk, gue anter."

Aku menggeleng, "Nggak usah, Kak, masih ada bis jam segini."

Kak Rei melepas sarung tangan dan helm yang ia pakai lalu duduk di sampingku, "Masih ada bis emang, tapi lama. Lagian lo nggak takut naik bis sendiri malem-malem?"

Aku menggedikkan bahu, "Kalo dibilang takut si takut. Tapi kan emang udah harus gini konsekuensinya kalo pulang malem. Ya doa aja nggak kenapa-kenapa."

Reihan tertawa pelan, "Ini nih yang bikin gue suka sama lo."

Aku menelan ludah, memilih menulikan telingaku untuk sesaat. Kuliah baru di mulai dua bulan, aku tak banyak punya kesempatan bertemu dengan Reihan. Lagipula kukira karena selama liburan Reihan tak pernah menghubungiku, cowok itu sudah menyerah. Selama awal semester baru ini pun, jika kami bertemu Reihan tak repot menyapaku dan hanya tersenyum sekilas. Aku sudah sangat lega melihat gelagatnya, tapi ternyata malam ini ia malah terang-terangan mengatakannya.

"Yuk. Jangan nolak gue, gue anter pulang, makin lama lo nolak, makin malem lo pulang."

Aku menggeleng kencang, "Nggak, Kak, nggak apa-apa, beneran, deh. Kakak repot kalo harus nganter aku malem-malem gini. Rumah Kakak juga lawan arah sama aku."

Reihan menghembuskan nafas, "Dan faktor yang bikin gue suka sama lo justru jadi bumerang untuk gue sendiri. Kayak sekarang ini."

Aku bungkam, tak tahu harus berkata apa.

"Gue yakin lo nggak sebego itu sampe nggak sadar kalo gue deketin lo. Tapi gue sadar, seharusnya gue ngomong aja ke lu yang jujur daripada gue deketin lo terus nggak jelas. Itu lebih cepet."

"Maaf." Aku tak tahu kenapa aku minta maaf, tapi hanya itu kata yang terpikirkan di kepalaku saat ini. Sejak tadi mataku lurus menatap jalanan di depanku.

Reihan menggeleng, "Gue suka sama lo sejak gue ngeliat lo di OSPEK. Waktu itu alasannya sederhana, karena lo menarik. Tapi makin gue tau gimana lo orangnya, rajin, mau nyoba hal baru, terbuka sama ide orang, sederhana dan yang paling gue suka dari lo adalah kemandirian lo. Lo nggak pernah mau nyusahin orang, justru lo ngeduluin kepentingan orang lain duluan di atas lo dalam hal apapun." Reihan menarik nafas berat, "Tapi justru kemandirian lo itu yang sekarang nyerang gue. Keinginan lo untuk mentingin orang lain lebih dulu yang bikin gue susah. Lo nggak pernah mau nerima bantuan gue, apa pun itu."

Malam&Kamu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang