Prolog

1.2K 102 11
                                    

“Pergilah, aku mohon.”

Laki-laki bertubuh kecil itu menggenggam erat tangan saudaranya yang lebih besar. Menatap putus asa pada onyx kembar berwarna coklat jernih yang balas menatapnya muram. Rasanya seperti melihat kedalam matanya sendiri, tanpa menyangkal sedikitpun bahwa memang mata mereka tak bisa dibedakan.

“Pasti ada cara yang lain, kita akan mencari tahu. Lagipula aku tidak akan meninggalkanmu sendirian.”

“Untuk saat ini tidak ada cara,” paksa si adik dengan keras kepala, “aku akan bicara pada Alpha. Mengarang cerita apapun yang bisa dipercayainya, aku mohon. Pergilah, aku tidak mau kau di-adu.”

Yang lebih tinggi mengerutkan keningnya dalam, “Dia tidak akan mau mendengar alasanmu, bagaimanapun dia pasti akan mencariku setelah pelantikannya pekan depan.”

“Aku akan bicara pada Alpha, bukan pada Calon Alpha. Percaya padaku, beberapa yang melihat tadi percaya dengan cerita yang aku buat. Aku hanya perlu mengembangkannya sedikit saja.”

Mata kembar itu terus beradu tatap, tidak gentar dengan keyakinan mereka masing-masing. “Aku tidak bisa membuat adikku hidup dalam kebohongan karena masalah-ku. Pikirmu bagaimana aku harus menanggungnya pada Ayah dan Ibu diatas sana?”

“Dosa karena berbohong lebih bisa aku tanggung seumur hidup daripada harus melihatmu bertarung dengan Si Calon. Lagipula berapa kali harus aku katakan, jangan mendebat soal kakak dan adik. Kita ini kembar. Aku bukan adikmu, bisa saja kau yang adikku.”

Untuk sesaat senyum mereka merekah, pertengkaran lama mereka bahkan akan muncul disaat genting seperti ini. Keduanya saling merengkuh dalam pelukan erat, membiarkan kulit tubuh mereka yang kontras saling menempel tanpa terhalang suatu apapun.

“Aku berjanji akan menjaga diri,” lirihan itu membuat yang lainnya menggeram, “kita akan saling menjaga diri tidak peduli sejauh apapun kita terpisah. Nanti, jika waktunya sudah tiba aku sendiri yang akan mengundangmu untuk kembali.”

“Dan kapan itu akan terjadi?”

“Nanti, setelah semuanya dalam keadaan yang lebih baik disini.”

“Haechan, tidak ada hal baik yang bertahan singgah terlalu lama di tempat ini.”

Laki-laki yang berkulit lebih gelap menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Pasti ada hal baik yang akan datang. Tapi sayang sekali kau tidak bisa melihatnya, dan hanya akan mendengar ceritanya dariku saja.”

Hujan turun semakin lebat diluar sana, suara angin menderu-deru semakin ribut. Dua saudara kembar itu saling memisahkan diri, terhempas pada tempat tidur besar, tapi masih menggenggam tangan satu sama lain.

“Kapan menurutmu aku harus pergi?”

Haechan memekik lega karena kekeras kepalaanya telah membuahkan hasil, “sekarang. Atau beberapa jam lagi setelah hujan reda. Aku akan menyiapkan barang-barangmu.”

“Kejamnya kau,” desah sang kakak yang masih terlentang diatas tempat tidur.

“Senang sekali aku akan berada jauh dari jangkauanmu. Dengar, aku pergi hanya karena aku tidak mau kau terlibat permasalahan yang lebih rumit kalau aku memaksa tinggal. Itu berarti kau tidak boleh terlibat satu-pun masalah saat aku pergi.”

Haechan duduk dan tersenyum riang pada kakaknya yang sedang menatap langit-langit rumah.

“Lee Jeno forti praesidio semper fore mundum eius frater a tempestate.”

Angin dan hujan menghajar tanah mereka tanpa ampun, terus saling melesakkan diri untuk membuat bumi semakin porak poranda. Petir menyambar saat sang kakak melanjutkan,

Alea Jacta EstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang