IV

335 46 1
                                    

Dia sudah lupa kapan terakhir kali apartemennya sunyi senyap. Mendengar betapa berisiknya seseorang di dapur, Jeno rasanya benar-benar merindukan masa tenangnya.

"Kau ingin aku menggunakan kecap manis atau asin?" pertanyaan itu terdengar sangat lantang baginya. Diteriakkan oleh seseorang yang sama dengan yang terus membuat keributan sejak kedatangannya beberapa jam yang lalu.

Jeno menenggelamkan wajahnya sendiri pada bantal dan menghela nafas disana, sedangkan tubuhnya yang hanya terbalut celana training dan kaus lusuh berbaring terlentang di sofa tanpa berniat untuk bangkit atau sekedar menjawab pertanyaan yang diajukan untuknya.

Pikirannya kosong melompong, atau setidaknya memang itulah yang terjadi sejak pagi tadi. Tidak ada suara apapun yang mengisi kepalanya, tidak ada yang menggerutu, merengek, tertawa, atau menangis sekalipun.

Seharusnya dia merasa senang, tapi nyatanya hal itu malah membuatnya pusing bukan kepalang.

“Sudahlah,” Renjun menjatuhkan diri di atas karpet, meletakkan nampan camilan yang dibawanya dari dapur dan meraih remote televisi. “Usia kalian akan mencapai dua puluh lima, itu sangat normal jika adikmu merasa perlu untuk tidak merecoki kepalamu beberapa menit saja.”

Seseorang yang terbaring di belakangnya masih memejamkan mata dan berusaha kuat untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan saudaranya.

“Itu tidak normal bagi kami,” katanya. “Mana mungkin dia tidak menghubungiku seharian penuh, menurutmu—”

“Menurutku,” Renjun nyaris memekik. “Lee Jeno, tidakkan sikapmu ini sangat kekanakan? Kenapa bagiku kau lebih terlihat seperti seseorang yang kalang kabut karena tidak menerima kabar dari kekasihmu?”

Jeno hanya membalasnya dengan gumam kesal, tapi laki-laki itu bangkit dari posisi berbaringnya dan mulai bergabung dengan temannya untuk menghirup makanan dan menonton televisi tanpa minat.

“Cobalah bersikap normal,” kata Renjun. Mulutnya menggembung karena terisi penuh dengan makanan, “jangan menggunakan kepalamu untuk menghubunginya, gunakan ponsel. Pakai alamat surelmu untuk bertukar pesan juga, itu akan terasa lebih manusiawi dan kalian akan terbiasa nanti.”

“Renjun,” Jeno tersenyum miring. “Bagaimanapun usahanya, kami memang tidak normal. Dan sejujurnya, aku dan saudaraku tidak perlu bersikap manusiawi. Kau tahu kalau kami—”

Dia tidak lagi melanjutkan ucapannya saat Renjun dengan sengaja menampar mulutnya dan mendorong tubuhnya dengan kasar pada sofa.

“Sialan kau,” umpatnya. “Tidak bisakah kau sedikit menghargai rasa peduliku? Sikapmu itu benar-benar membuatmu terlihat tidak manusiawi.”

Jeno tertawa menyaksikan temannya yang bersungut-sungut. “Tidakkah sia-sia kau merasa kesal? Nyatanya kau menikmati fakta bahwa temanmu ini bukan manusia normal. Santai saja Huang Renjun, aku tidak merasa tesinggung.”

“Dulu, dulu sekali, kau tidak tahu betapa aku sangat takut dengan suatu hal,” kata Renjun. Laki-laki itu melipat kakinya di depan dada, memutar tubuhnya menghadap Jeno dan memasang ekspresi wajah sendu sebaik yang bisa dia lakukan.

“Kau tahu aku punya paman yang agak sinting,” lanjutnya. “Benar-benar sinting dan seluruh keluargaku mengakuinya meskipun kami masih menyayanginya karena dia adalah keluarga. Tapi tahukah kau apa yang menakutkan? Diantara belasan keponakannya, kenapa hanya aku yang selalu tertarik dan menanggapi semua kisah-kisah konyol yang dia ceritakan? KENAPA?!”

Jeno tidak bisa menghentikan tawa saat kakinya kini disentak dan dipukuli dengan brutal oleh Renjun yang masih memasang ekspresi kesal yang mutlak. Dia melampiaskan rasa kesalnya yang tiba-tiba mengudara pada satu-satunya obyek hidup di depannya.

Alea Jacta EstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang