Jeno tidak pernah mendapatkan kunjungan selama ini, atau setidaknya belum.
Kecuali jika Huang Renjun masuk hitungan. Meskipun dia lebih senang menyebut temannya itu selalu melakukan invasi, bukannya kunjungan ramah tamah ke tempat tinggalnya.
Tapi kedatangan tiga orang yang baru saja melewati pintunya itu tentu saja tidak bisa disamakan dengan apapun. Tidak seperti menyambut teman-temanya semasa kuliah, bukan rekan-rekan kerjanya di rumah sakit, apalagi tetangga-tetangga lain pintu dengannya.
Orang ke empat yang terakhir kali melewati pintu menyeringai lebar padanya, laki-laki berambut gondrong pirang keperakan itu menepuk bahunya dan menyusul langkah tiga yang lain dengan ceria.
Jeno menghela nafas, tentu saja tetangga sejenisnya itu akan senang dengan kunjungan ini.
“Kukira kau akan memberikan tempat tinggal tidak layak untuknya,” tamunya yang paling jangkung lebih dulu memecah keheningan. “Kau ternyata jauh lebih bertanggung jawab daripada dugaanku, Na Yuta.”
Ruangannya mendadak dipenuhi tawa, membuatnya mau tidak mau mengangkat sudut-sudut bibirnya juga.
Mereka menyamankan diri tanpa dipersilahkan, bahkan jeno harus berulang kali mengingatkan diri bahwa dia lah tuan rumah dan mereka adalah tamunya, bukan sebaliknya. Karena entah bagaimana, dia menjadi satu-satunya tuan rumah paling kikuk yang pernah ada.
“Tapi sebenarnya, Jeno membeli sendiri tempat ini.” Tetangga pirangnya mengumumkan dengan riang, “miliknya yang dulu sudah kusewakan pada orang lain tentu saja.”
Jeno tidak tahu harus menanggapi seperti apa tatapan penuh puji yang tiba-tiba menghujaninya, alhasil hanya memulas senyum tipis di bibirnya dengan salah tingkah.
“Itu justru jauh lebih bagus lagi, Jeno.” Tamunya yang paling mungil, sekaligus yang paling membuatnya gugup memuji sepenuh hati. “Kuharap kau pindah ke tempat yang lebih nyaman, bukan begitu?”
Dia lagi-lagi hanya mengangguk dan melebarkan senyumnya, mengatakan tanpa suara bahwa benar seperti itu alasannya pindah dan bukan karena sesuatu hal lain yang membuatnya tidak nyaman.
Beberapa waktu setelahnya, yang mereka lakukan mestilah terbilang normal. Tamu yang bertanya, dan tuan rumah yang menjawab.
Jeno tidak menyangka bahwa hidupnya sejak meninggalkan kampung halamannya beberapa tahun yang lalu bisa diceritakan panjang lebar sekaligus membuat kerongkongannya kering. Dan Yuta, tetangga sekaligus perantau yang sama-sama pernah berbagi kampung halaman dengannya itu menawarkan diri untuk menjarah dapurnya.
“Semuanya baik,” tamunya yang lain berkomentar. “Kau melakukan semuanya dengan baik tentu saja, saudaramu juga begitu. Kalian luar biasa.”
Jeno tersenyum kaku, dia berusaha menghindari pembahasan itu sebenarnya. Tentang saudaranya yang dia tinggalkan, tentang rumahnya terdahulu, dan segala sesuatu menyangkut pack.
Sayangnya, dia juga cukup menyadari bahwa tidak mungkin dia mengelak selamanya. Karena jelas mereka disini untuk berbicara tentang itu. Hanya kapan tepatnya seseorang akan memulainya, Jeno hanya perlu menunggu.
“Taeyong? Kau akan mengijinkan Johnny dan Jaehyun datang ke tempatku juga, kan?”
Yuta kembali dari dapurnya dan melempar minuman kaleng tepat mengenai dahi dua tamunya jika saja mereka tidak cukup cekatan untuk menangkapnya lebih dulu. Dan disertai tawa ringan yang lain, tamunya yang mungil mengiyakan dengan senyum lebar.
“Aku akan menyusul.”
Jeno menelan dahaganya susah payah, dia sudah kehilangan tiga tamunya. Inilah saatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alea Jacta Est
FanfictionSiblings! NoHyuck! Just because your fam's is Alpha, Doesn't make you the Alpha.. Jeno memilih untuk percaya pada adiknya, percaya bahwa meninggalkan takdir dan tanah kelahirannya adalah keputusan terbaik untuk dilakukan. Benarkah? Haechan tau dia...