1

3.3K 150 2
                                    

Matahari yang sedang terik-teriknya menambah rasa pening di kepala Sita. Perempuan itu menarik koper dan beberapa tas lain dari ujung gang ke kontrakannya, sendirian. Ia ingin mengumpat pada jasa pengiriman yang ia sewa. Seharusnya barang-barangnya diantar kemarin, namun baru datang hari ini. Yang membuat Sita semakin kesal, semua barang-barangnya hanya dititipkan di warung ujung gang karena mereka harus melakukan pengiriman lain.

Alhasil, dia harus bersusah payah membawa barang-barangnya ke kontrakan. Dia harus melewati gang yang cukup lebar sejauh seratus meter. Untungnya barang-barangnya sudah ia kemas dengan rapi, sehingga memudahkan saat membawa. Yah, meski pun ia banyak tenaga yang ia keluarkan karena barangnya cukup banyak.

Setelah semua barang masuk di dalam kontrakan sederhananya, yang pertama dibongkar Sita adalah koper pakaian. Sejak sampai dari bandara tiga hari yang lalu, ia baru mandi dua kali. Hal itu karena dia hanya punya dua potong baju di tas ranselnya, sementara baju yang lain ada di koper yang malah terlambat datang ini. Sita mengambil celana selutut dan blouse berpotongan lebar, ini agar ia tidak perlu berganti baju jika ingin ke warung.

Setelah mandi dan merasa segar, Sita memeriksa pesan masuk di ponselnya. Yang pertama dia baca adalah email dari Pak Tio, direktur perusahaan tempat sebelumnya ia bekerja. Isi emailnya hanya informasi tentang kantor baru, seperti alamat, jadwal memulai pekerjaan, dan beberapa hal lain.

Sita menghela nafas, ia cukup lega karena berani mengambil pilihan untuk datang ke sini. Sebelumnya, dia hanya seorang pegawai lepas di sebuah perusahaan besar. Karena dedikasinya dalam bekerja, Pak Tio menawari Sita menjadi pegawai tetap dengan bayaran jauh lebih besar.

Awalnya Sita ingin menolak karena tawaran itu berlaku jika ia mau menjadi staf divisi di kantor cabang yang baru berkembang, belum sebesar perusahaan lamanya. Namun atas dukungan dari ibunda, Sita akhirnya menerima tawaran itu, meski harus pergi ke pulau seberang.

Samarinda akan menjadi tempat Sita bekerja untuk tahun-tahun ke depan. Ini pertama kalinya Sita pergi ke luar pulau sendirian. Terakhir dia bepergian antar pulau adalah saat karyawisata bersama teman-temannya ke Bali. Sita merasa sedikit takut saat pertama kali sampai di sini. Dia perempuan, tinggal sendirian, dan yah, Sita mengakui bahwa dia memiliki wajah dan tubuh yang cukup menarik.

Setelah memeriksa pesan masuk, Sita membuka akun sosmed, melihat-lihat kabar teman-temannya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuat Sita bangkit dari posisinya yang semula rebahan di ranjang. Dia merapikan bajunya sedikit sebelum keluar untuk membukakan pintu. Seorang wanita paruh baya berdiri di depan kontrakannya dengan senyuman lebar. Sita tahu orang ini, ibu pemilik warung di ujung gang.

"Selamat siang," sapa ibu itu ramah.

"Siang, kenapa, ya, Bu?" Sita yang benar-benar tidak tahu bahasa di Samarinda memutuskan menggunakan Bahasa Indonesia.

"Ini ibu bawakan Bobongko buat kamu, ini saya bikin sendiri."

"Ya ampun, terima kasih, Bu!" Sita menerima tas kresek berisi makanan yang dibungkus daun pisang itu.

Setelah ibu tadi pergi, Sita mengambil posisi duduk untuk mulai makan. Kebetulan sekali dia memang belum makan siang, perutnya terasa sangat lapar setelah mengangkat barang-barang tadi.

Sita menepuk dahi saat lupa berkenalan dengan ibu tadi, padahal dia sangat baik. Namun setelah merasakan lapar di perutnya, Sita memilih untuk makan dulu, berkenalan dengan ibu itu bisa lain waktu.

Bobongko yang masih hangat mengepulkan aroma harum saat Sita membuka bungkusan daun. Melihat dari bentuknya, Sita pikir Bobongko akan memiliki rasa manis seperti Nagasari yang biasa ia santap di rumah. Namun begitu sendok mencapai mulutnya, Sita dapat merasakan rasa asin dan sedikit pedas memanjakan lidahnya. Besok-besok ia akan baik kepada ibu tadi agar bisa mendapat Bobongko gratis.

Boss IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang