4

829 106 0
                                    

"Sita!"

Sita menelan ludah saat namanya dipanggil oleh Ardian. Dengan gerakan perlahan, dia memutar tubuh agar berhadapan dengan Ardian. Nampan yang dia pegang dipeluk erat, seakan bisa melindunginya dari Ardian.

"Apa-apaan, ini!" Ardian meletakkan cangkirnya dengan kasar, hanya menggertak. Sita membeku, dia tidak bisa membela diri karena dia memang salah.

Dua minggu ini, Sita memang menjalankan tugasnya sebagai pegawai yang baik. Dengan rutin, dia membuat dan mengantarkan kopi untuk Ardian. Sita kira dengan begitu Ardian akan sedikit melunak, namun dia salah. Ardian memang tidak terlalu sering membentak, namun ada kesalahan sedikit saja, kata-kata pedas dan tatapan tajam harus siap diterima.

Tetapi pagi ini, sebuah niat jahat tiba-tiba saja terlintas di kepala Sita. Kemarin Ardian marah-marah karena dia lupa mencantumkan nama salah satu klien di proposal. Kesalahan yang menurut Sita bukan murni salahnya karena Ardianlah yang menyerahkan daftar nama klien. Jadi tadi saat membuat kopi, Sita dengan sengaja menambahkan setengah sendok merica, cukup untuk membuat Ardian marah seperti sekarang.

"Maksud kamu apa? Mau ngeracunin saya?" Ardian kini sudah di depan Sita, menatapnya dengan tatapan galak. Sita menggeleng, dia... ah, dia juga tidak mengerti kenapa nekat melakukan itu.

"Kamu cuma disuruh bikin kopi, susah? Kamu keberatan? Kalau keberatan bilang dari awal! Jangan mentang-mentang kamu anak baru terus bisa sesukanya, ya! Saya tau Pak Tio yang ngerokomendasiin kamu, tapi kalau kamu sama atasan sendiri nggak hormat, saya bisa pecat kamu!"

Mata Sita perih, menahan air mata yang hampir keluar. Entah kenapa dadanya sesak, dia tidak boleh dipecat!. Sita sudah jauh-jauh datang kemari, tidak mungkin dia pulang begitu saja. Ibu dan Ayahnya pasti kecewa. Dan jika dia dipecat, kesempatannya ke depan untuk mencari pekerjaan pasti akan tersendat.

"Ar, ini..." Suara Akbar yang memasuki ruangan tertahan di udara. Akbar terdiam sesaat melihat Sita yang menunduk dalam dan Ardian di depannya. Ardian yang menyadari kehadiran Akbar memberi isyarat agar dia masuk ke dalam ruangan.

"Akbar," panggil Ardian dengan matanya tetap terpaku pada Sita.

"Iya, Pak?"

"Kamu bisa, kan, nyari orang buat ngisi bagian divisi manager pemasaran? Hari ini juga. Orang yang kompeten dan tidak pendendam."

Akbar menelan ludah. Tidak mungkin Sita dipecat, kan?.

"Jangan pecat saya, Pak," lirih Sita. Perempuan ini perlu mengumpulkan keberanian demi mengucapkan kalimat itu. "saya janji, saya akan bikinin Pak Ardian kopi setiap pagi, yang enak Terus saya juga akan kompeten, saya akan ngerjain semua pekerjaan dengan detail dan tepat waktu. Jadi jangan pecat saya, ya," lanjutnya.

Ardian tampak memikirkan sesuatu.

"Oke, saya nggak akan mecat kamu, tapi saya perlu jaminan. Minum kopi saya!" Sita mendongak, sementara Akbar tampak bertanya-tanya. Tapi Sita menurut, dia berjalan pelan ke meja Ardian untuk mengambil kopinya.

"Dia masukin entah merica atau bubuk cabai ke kopi saya." Ardian menaikkan alisnya pada Akbar yang sekarang tampak terkejut.

Namun ada yang tidak Ardian tahu. Sejak kecil, Sita beberapa kali diberi nasihat karena tertangkap basah sedang memakan merica. Kata ibu, itu akan membuatnya sakit. Namun Sita yang pada dasarnya suka rasa pedas tidak begitu mendengarkan nasihat ibu. Sita suka sekali pada merica yang bagi orang lain baunya saja membuat tenggorokan gatal.

Jadi saat bibir cangkir itu menyalurkan kopi ke lidahnya, Sita nampak biasa. Kopi buatannya enak, hanya saja ada rasa-rasa pedas di setiap sesapannya. Kopi dan merica, dua hal yang sangat disukai Sita. Walau pun tidak pernah mencobanya secara bersamaan, Sita merasa kopi yang ia minum tidak terlalu buruk.

"Udah, Pak!" Sita menaikkan cangkir Ardian, memberi bukti bahwa ia meminum habis kopi miliknya.

Ardian terbengong, tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya. Tadi saja dia hampir muntah saat merasakan kopinya. Tapi perempuan di depannya ini malah tampak menikmati. Apa lidahnya sudah mati rasa?.

"Gimana? bapak nggak akan mecat saya, kan?" Wajah sedih kembali terpampang di muka Sita, dia benar-benar tidak mau dipecat. Ardian mengangguk, semua kalimatnya adalah janji. Dia lalu mengizinka Sita keluar dari ruangannya.

"Gila! Itu beneran dikasih merica, minuman lo?" Akbar melotot sambil mendekati Ardian yang sudah duduk di kursinya.

"Iya, gue serius. Itu pedes banget, Bar! Mana di dalam kopi, lagi! kayaknya dia mati rasa, deh!" Akbar menepuk lengan atasan sekaligus sahabatnya ini.

"Jangan sembarangan! Bisa aja Sita takut banget sama lo, makanya santai-santai aja disuruh minum. Asal lo tau, ya, gue pernah liat dia nangis. Habis lo bentak gitu, lo jahat, sih!"

Ardian terdiam. Sepertinya dia tidak semenakutkan itu.

***

"Pak Ardian semena-mena gitu nggak ada yang pernah protes?" tanya Sita saat makan siang kali ini. Hana yang sedang memakan nasi gorengnya meletakkan sendok, pertanda akan berbicara panjang.

"Lapor juga Pak Ardian nggak akan diapa-apain. Soalnya si Udin kan kalau marah ada alasannya, jadi ya kemarahanannya nggak sepenuhnya salah."

"Tapi Han, dia tuh gampang banget bentak-bentak orang. Ganteng tapi mulutnya pedes. Sikapnya itu bisa bikin karyawan lain nggak nyaman, apalagi kita yang satu divisi sama dia."

"Terus kalau misal karyawan lain nggak nyaman sama dia, dia bakal dipecat? Nggaklah! Dulu sebelum ke sini kamu kerja di kantor mana?"

"Di kantor pusat yang ada di Yogyakarta," jawab Sita.

"Direkturnya kantor pusat tau?" Sita mengangguk. "dia pamannya si Udin, makanya karyawan lain yang di luar divisi kita juga cukup segan sama dia. Tapi jangan salah! Aku bukan bermaksud bilang dia berlindung di bawah pamannya, lho! Pak Ardian emang punya kemampuan, makanya bisa jadi manager. Awalnya malah dia disuruh jadi direktur, tapi ditolak sama dia."

Sita menaikkan alis, penasaran.

"Kenapa kok ditolak? Kalau aku dipromosiin jadi direktur sih pasti langsung mau."

"Kalau soal itu aku Aw!" Hana terpekik sambil mengusap kepalanya. Ada Mbak Indri berdiri di sebelah meja mereka berdua.

"Hana! Kamu tuh sukanya gosip terus. Awas kamu nanti kualat suka gosipin orang, atasan lagi!" Mbak Indri sekarang sudah duduk di sebelah Hana.

"Bukan gosip, Mbak, aku kan cuma berbagi cerita." Hana mencoba membela diri, yang tentu saja tidak digubris Mbak Indri.

"Mbak Indri tumben jam segini masih di kantor? Biasanya jemput anak mbak yang namanya..." Sita menatap Hana, mencari jawaban.

"Salma?" Mbak Indri lebih dahulu menyebutkan nama anaknya.

"Iya Salma, kok nggak dijemput?"

Mbak Indri menyendok makanannya sebelum menjawab, "Salma kalau akhir bulan nginep di rumah ayahnya."

"Rumah ayahnya?" Tanya Sita sambil mengerutkan kening. Mendengar pertanyaan Sita, Hana tampak merasa tidak enak pada Mbak Indri.

"Saya sama suami saya kan udah cerai. Hak asuh sih udah sama saya, tapi saya nggak bisa misahin dia sama ayahnya gitu aja."

Dengan cepat Sita langsung merasa tidak enak. Perempuan yang hari ini memakai blouse panjang warna ungu itu langsung meminta maaf pada Mbak Indri. Mbak Indri hanya tersenyum, bukan masalah besar, perceraiannya telah terjadi beberapa tahun lalu, ia sudah tidak terlalu memikirkannya.

Makan siang kemudian dilanjutkan dengan tenang. Hana memilih memendam hasratnya menggosip demi menghindari nasihat atau cubitan dari Mbak Indri. Sita juga jadi tidak terlalu berhasrat bicara, telanjur tidak enak pada Mbak Indri.

***

Boss IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang