5

799 113 2
                                    

Sudah setengah jam Sita menunggu bus sejak dia keluar dari kantor. Ada demo seluruh supir angkutan umum sehingga dia tidak kunjung melihat bus yang akan membawanya pulang. Sita duduk sambil memainkan ponsel, bahkan angkutan online juga tidak dapat dipesan. Tidak mungkin dia akan berjalan hingga kontrakannya, kan?.

Sita sedang memikirkan kemungkinan terburuk cara pulang ke rumah ketika sebuah Maybach berhenti di depannya. Saat jendelanya diturunkan, Sita dapat melihat Ardian di bangku kemudi dan Akbar di sebelahnya. Akbar tersenyum pada Sita, lalu menanyakan rumahnya. Sita menyebutkan sebuah alamat, yang ternyata searah dengan Akbar dan Ardian.

"Bareng aja, yuk!" ajak Akbar pada Sita. Dengan sedikit keraguan, Sita akhirnya masuk ke mobil itu, daripada harus berjalan pulang. Mobil ini memiliki harum yang lembut seperti vanilla. Bagian dalam mobil bersih, nyata sekali jika pemiliknya adalah orang yang rapi.

"Mas Akbar sama Pak Ardian biasa pulang bareng?" Tanya Sita membuka percakapan, karena sejak beberapa menit yang lalu suasana begitu canggung.

"Nggak, kok. Saya biasanya pakai mobil sendiri, tapi lagi di bengkel. Nah, karena kita tinggal satu komplek, ya saya bareng aja." Sita mengangguk mendengar jawaban Akbar, lalu matanya melihat ke Ardian yang terlihat tidak menyukai kehadirannya.

"Pak Ardian nggak suka ya saya ada di sini?" Ardian melirik Sita sekilas melalui kaca.

"Saya biasa aja," ucapnya singkat.

Sita mengerucutkan bibir, dari nada bicaranya jelas Ardian tidak suka dia menumpang mobilnya. Akbar tertawa pelan saat menoleh ke jok belakang dan mendapati Sita sedang berekspresi seperti itu. Baru Akbar ingin berbicara, Sita memberitahu Ardian agar melambatkan mobil, kontrakannya sudah dekat.

"Makasih ya tumpangannya Mas Akbar, Pak Ardian, saya permisi," ujar Sita sebelum keluar dari mobil. Begitu Sita terlihat memasuki gang menuju kontrakannya, Ardian menjalankan mobil kembali.

"Tuh cewek nggak sopan banget, sih!" celetuk Ardian tiba-tiba. Akbar yang sedang membaca pesan dari seseorang menoleh.

"Sebelah mana yang nggak sopan, sih, Ar?"

"Kita kan seumuran, muka kita nggak jauh beda, kok bisa dia manggil lo mas, sementara gue dipanggil pak?" Akbar terbahak mendengar keluhan Ardian.

"Ardian, bukannya Sita itu malah sopan, ya? Gue temen sedivisinya, sementara lo atasannya, jadi bener dong kalau lo dipanggil Pak."

"Tapi ini kan nggak di kantor!"

"Ya udah, besok kalau ketemu sama Sita, bilang ke dia. 'Sita, besok lagi jangan panggil saya pak kalau lagi di luar kantor, saya nggak suka' gitu!" Ardian meneln ludah, lalu menggeleng.

"Gue masih trauma tau sama kopi merica yang dia kasih buat gue."

"Trauma tapi tiap pagi masih harus dia yang bikinin lo kopi, kenapa nggak nyuruh Laila aja? Kasihan juga tau, staf divisi manager pemasaran tapi dikasih kerjaan office girl," sindir Akbar. Ardian tidak merespon, malah mencoba mengganti topik dengan meminta Akbar agar mampir ke rumah makan.

***

Hari ini Sita libur, waktunya dia bisa santai seharian tanpa perintah dari Pak Ardian. Sejak adzan subuh berkumandang, Sita sudah bangun untuk menunaikan salat, namun dia memilih tidur kembali. Pukul setengah delapan pagi, Sita baru bangun dari tidurnya. Setelah mandi, ia lalu menuju ruang tamu untuk meminum kopi buatannya. Kopi hitam selalu menjadi teman Sita setiap hari, hanya penambahan creamer saja yang berbeda sesuai moodnya.

Kling! Sebuah pesan masuk di ponsel Sita, dari Hana.

Lagi be apah pian?

Minum kopi,

Jomblo ya? Libur kok di rumah sendirian :D

Hehe,, :")

Ikut aku aja, yuk! Aku sama Mbak Indri sama Aleeya mau jalan-jalan. Kamu dari pindah belum kemana-mana, kan?

Sita terdiam, yang dikatakan Hana ada benarnya juga. Sejak pindah ke sini, Sita memang belum pergi kemana-mana selain kantor dan warung di depan gang. Saat libur, Sita hanya akan di kontrakan mengerjakan pekerjaan yang belum selesai atau beristirahat seharian. Baiklah, daripada di rumah tidak ada kerjaan, lebih baik dia mengiyakan ajakan Hana. Lagipula dia ingin lebih mengenal Mbak Indri dan Aleeya.

Begitulah, sekarang Sita telah berada di salah satu pusat perbelanjaan di Samarinda. Cukup mudah dijangkau dari kontrakannya, naik bus dua kali. Sebenarnya Hana telah menawarkan diri untuk menjemput Sita, namun Sita menolak karena rumah Hana jauh lebih dekat ke sini daripada ke kontrakannya.

"Sita!"

Seseorang menepuk pundak Sita, dari suaranya Sita tahu kalau orang itu adalah Hana.

"Ya ampun, cantik banget, kamu!" puji Hana membuat Sita tersipu. Dia berlebihan, walau pun Sita memang tampak menawan dengan A-line dress warna abu-abu dan make up di wajahnya. Sita melihat dua orang lain di belakang Hana, Mbak Indri dan Aleeya. Setelah menyalami mereka, Sita tersadar bahwa mereka tidak hanya berdua, ada seorang anak kecil di sebelah Mbak Indri.

"Wah, ini Salma, ya?" Sita membungkukkan tubuhnya, agar lebih enak berbicara pada gadis kecil itu. Dia tampak malu-malu, bersembunyi di balik kaki ibunya.

"Salma, ayo salim! Ini teman mama, namanya Tante Sita."

Salma menuruti perintah Mbak Indri. Dengan sedikit malu-malu, dia menjulurkan tangan untuk menyalami Sita. Dengan gemas, Sita mengusap pucuk kepala Salma. Setelah Salma dan Sita berkenalan, mereka berlima mulai berjalan menyusuri mall.

Sudah satu jam lebih Hana, Sita, Mbak Indri, Salma, dan Aleeya berkeliling mall. Mulai dari toko baju, tas, sepatu, dan sebuah restoran. Sekarang mereka menuju ke bagian supermarket, tempat untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mbak Indri yang hidup bersama kedua orang tuanya dan seorang anak tentu langsung sibuk mencari keperluan rumah tangga. Hana dan Aleeya juga terlihat tidak jauh berbeda, mereka tinggal di rumah bersama keluarga, jadi tentu banyak keperluan yang harus dibeli. Sementara Sita yang tinggal sendirian tidak membeli apa pun, bahkan dia tidak mengambil keranjang atau troly. Daripada bosan, Sita memilih mengajak Salma berjalan-jalan di supermarket, berpisah dari yang lain. Salma menurut saja, lagipula ibunya tampak sedang sibuk membandingkan harga kecap.

"Salma sekarang umur berapa?" tanya Sita pada Salma yang menunduk, belum akrab dengan Sita.

"Sembilan tahun," lirih Salma.

"Sembilan tahun? Berarti kelas empat?"

Salma menggeleng.

"Kelas tiga." Sita ber-oh pelan.

"Eh, kamu mau nggak main petak umpet sama tante?"Mata Salma berbinar, lalu mengangguk. Mereka berdua lalu melakukan gunting batu kertas, berakhir dengan Sita yang harus bersembunyi. Salma menjadikan rak berisi susu sebagai tempat untuk menghitung. Sita bergegas pergi ke lorong sebelah, agar tidak terlalu jauh dari Salma.

Lorong ini terbagi menjadi rak tempat popok dan pembalut, sementara rak di sebelahnya berisikan berbagai macam sabun. Sita berdiri menghadap barisan popok, lalu berjalan menjauh agar tidak ketahuan oleh Salma.

BRUK! Sita merasakan punggungnya sedikit nyeri karena menabrak sesuatu. Dia segera berbalik, lantas terkejut mendapati apa yang dia tabrak, Ardian. Untuk sesaat mereka berdua hanya terdiam. Sebentar, untuk apa Ardian di depan rak pembalut. Sita menunjuk rak di depan Ardian. Ardian menggeleng, lalu menunjuk rak satunya, dia sedang mencari sabun mandi.

"Ketahuan!" Salma yang menemukan Sita memegang pinggul Sita.

"Salma, kita balik ke mama, yuk!" Sita menarik tangan Salma. "saya duluan, ya," ujar Sita sambil membawa Salma pergi.

Ardian hanya mengangguk, mempersilakan Sita pergi. Lelaki itu lalu tanpa sengaja melihat pakaian yang dipakai Sita. Tubuh Sita yang indah memang sangat cocok menggunakan baju itu. Tapi Ardian menelan ludah saat melihat bagian rok yang terlalu pendek. Perempuan itu, bukankah dia tinggal sendirian? Bagaimana jika ada yang berniat macam-macam? Rok sependek itu pasti memancing laki-laki di luar sana.

***

Boss IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang