Akbar menyesap kopi saat Sita masuk ke dalam ruangan. Hana dan Denis belum datang, Sita memang berangkat lebih pagi dari kemarin. Melihat Akbar yang tampak menikmati kopi. Sita keluar setelah meletakkan barang-barangnya. Dia menuju pantry, berniat membuat kopi yang sama. Pantry kantor memiliki persediaan kopi dengan beberapa jenis, semua pegawai bisa membuat kopinya sendiri jika mereka mau. Selain kopi, ada juga toaster dan peralatan masak sederhana.
Sita membawa cangkirnya yang telah penuh dengan hati-hati. Pagi ini kopi hitam tanpa creamer menjadi pilihan Sita. Aroma yang menguar dari kopinya membuat Sita tidak sabar untuk segera menyesapnya. Karena berjalan sedikit cepat, Sita hampir saja menabrak Denis yang ingin masuk ke ruangan mereka.
"Maaf Mas Denis, saya nggak sengaja." Sita menunjukkan ekspresi bersalah.
"Santai aja dong Sita, makanya kalau jalan jangan keburu-buru. Oh iya, kan kemarin saya udah minta kamu jangan panggil mas, kenapa masih pakai mas, sih? Agak gimana gitu, lagian kan kita seumuran."
Sita mengangguk.
"Iya deh, Denis, maaf ya tadi hampir nabrak kamu."
"Kurang lengkap. Yang benar, Denis yang cerah secerah mentari pagi dan tampan rupawan." Sita tertawa geli mendengar kalimat Denis. Dengan berpura-pura serius, Sita mengulang kalimat Denis, lantas langsung masuk ke ruangannya karena ingin segera meminum kopi.
"Eh, halo." Sita meletakkan cangkirnya dan menyalami seorang wanita yang berdiri di dekat mejanya. Wanita itu memakai jilbab, usianya mungkin sudah kepala tiga. Kemarin sepertinya Sita sempat melihat dia, namun lupa berkenalan. "Sita."
"Saya Indri, dari personalia," ucap Indri dengan suara lembut, cara bicaranya menenangkan.
"Pak Bagyo, ya? Ini sudah saya siapkan print out sama salinannya." Sita membuka tas laptop dan mengambil kertas-kertas yang ia selipkan di samping laptop. Indri menerimanya sambil tersenyum, lalu memuji pekerjaan Sita yang cekatan sebelum keluar dari ruangan.
***
Istirahat makan siang ini Hana mengajak Sita ke kantin kantor. Meski ada pantry, kantin tetap menjadi tujuan nomor wahid bagi pegawai di sini untuk urusan makan. Kantin ini terletak satu lantai di bawah ruang kerja Sita. Cukup luas dan terasa nyaman karena ada beberapa tumbuhan di sana. Karena belum mengenal banyak orang, Sita menurut saja saat Hana menyeretnya ke satu meja yang telah di isi dua orang, salah satunya Indri.
Orang yang bersama Indri namanya Aleeya, dari bagian personalia juga. Aleeya memiliki wajah cantik, ia cukup berani dengan memakai lipstick merah. Tebak Sita, pasti banyak pegawai laki-laki yang menaruh hati pada Aleeya. Baru mengobrol sebentar, Sita bisa tahu bahwa Indri memiliki sifat keibuan dan mengayomi. Sementara Aleeya cukup pendiam, berbeda dengan tampilannya.
"Kalian terusin makan, ya! Mbak mau pergi dulu." Indri bangkit dari duduknya. Aleeya yang tidak ingin ditinggal sendiri mengikuti jejak Indri untuk pamit pada Sita dan Hana.
"Mbak Indri kok buru-buru banget? Istirahatnya kan masih agak lama."
"Mbak Indri kan setiap jam segini jemput Salma," jawab Hana. Sita mengerutkan kening. Salma? Pegawai kantor ini juga? Lalu kenapa Mbak Indri harus menjemputnya? "Salma itu anaknya Mbak Indri," ucap Hana seperti bisa membaca pikiran Sita.
Sita mengangguk paham, lalu selintas pertanyaan muncul di kepalanya.
"Han, Denis kok keliatannya segan gimana gitu ya sama manager kita? Kesannya kayak nggak suka malahan."
"Pak Ardian?" Sita mengangguk, dia sangat penasaran dengan sosok atasannya tersebut.
"Bukan cuma Denis, sih. Aku, Mas Akbar, bahkan orang-orang di divisi lain agak gimana gitu sama dia. Sifatnya itu, lho, super perfeksionis. Terus orangnya dingin dan semua hal harus sesuai sama kemauan dia, nggak bisa dibantah," ujar Hana semangat. Sita hanya mangut-mangut.
"Berarti orangnya bossy banget, ya?" tanya Sita yang dibalas anggukan oleh Hana.
"Kamu kalau berhadapan sama dia, jangan banyak ngebantah, nurut aja! Daripada kamu kena marah."
"Oh iya, Han, Mas Akbar umurnya berapa, sih? Denis yang selisih satu tahun aja nolak dipanggil mas, tapi Mas Akbar fine-fine aja."
Hana meletakkan sendok dan menghitung dengan tangannya.
"Sama kita sih jaraknya tiga tahunan gitu," jawab Hana.
Selesai makan, Sita dan Hana menyudahi obrolan mereka. Segera kembali ke ruangan untuk mengerjakan tugas-tugas yang sudah menumpuk.
***
Malam ini Sita tidak bisa tidur awal. Jika kemarin karena ia harus mengerjakan tugas dari Ardian, malam ini berbeda. Sejak selesai salat isyak, Sita sudah memosisikan tubuhnya di ranjang, namun matanya tidak segera terpejam. Pikirannya penuh dengan sosok Ardian, atasannya yang belum ia ketahui sosoknya. Masalahnya foto profil yang Ardian pasang hanya menampakkan siluet, pun sedikit blur.
Beberapa bayangan sosok 'bos' mulai dibayangkan Sita. Apakah akan seperti Pak Tio yang penuh wibawa dan seperti sosok ayah?. Atau jangan-jangan Ardian adalah bos yang absurd dan konyol seperti yang pernah ditontonnya dalam sebuah film. Ah, Sita menjadi semakin penasaran.
Niat Sita yang ingin menghubungi Hana untuk meminta foto Ardian segera ia tepis jauh-jauh. Itu bukan sesuatu yang harus ia ketahui sekarang, lagipula besok Ardian akan mulai berangkat ke kantor, bukan?. Baiklah, sekarang Sita akan berusaha keras untuk memejamkan mata, agar esok segera datang dan rasa penasarannya terbayar.
***