Semua bayangan bos yang ada di kepala Sita semalam benar-benar salah, bahkan tidak mendekati. Ardian tampak jauh lebih muda daripada manager di divisi lain. Tubuhnya tinggi, dadanya bidang, cukup atletis kalau kata Sita. Wajah Ardian tampan, namun dengan tipe ketampanan yang berbeda dengan Akbar. Jika Akbar memiliki wajah flamboyan, Ardian memiliki rahang tegas dan hidung tinggi, juga mata yang tidak sipit namun tajam. Jika diibaratkan artis Indonesia sih, hawa-hawanya mirip Rio Dewanto, yah meski pun tidak mirip-mirip banget.
Meski penampilannya jauh dari bayangan Sita, sikap Ardian persis seperti penjelasan Hana. Pagi-pagi sekali Sita sudah berada di kantor, namun Laila, office girl yang dikenalnya mengatakan bahwa Ardian telah berada di ruangannya. Meski penasaran, Sita menahan diri untuk tidak membuka pintu ruangan Ardian. Namun saat Sita sedang menulis sesuatu di jurnal, Ardian keluar dari ruangannya.
"Sarah?"Ardian kini berdiri di depan meja Sita.
"Panggil saja Sita, Pak!" tutur Sita, dibalas anggukan kecil dari Ardian.
"Kamu lagi sibuk?" Mata Ardian menelusur ke seluruh meja Sita, mencari tahu apa yang sedang dikerjakan perempuan itu. Sita berpikir sejenak sebelum menggeleng, dia hanya menulis beberapa hal yang tidak terlalu penting.
"Kalau gitu bisa kamu buatin saya kopi? Kopi hitam, gulanya jangan terlalu banyak, creamernya sedikit, yang nggak terlalu kerasa tapi saya tau kalau itu dikasih creamer."
"Hah?"
"Kamu nggak ngerti apa yang saya katakan barusan?"
Mengerti? Deskripsi kopi yang disebutkan Ardian dengan cepat itu terdengar sangat membingungkan. Namun demi menuruti wanti-wanti dari Hana kemarin, Sita mengangguk saja. Tidak lama kemudian, dia sudah ada di pantry, mencari gelas khusus milik Ardian. Kata Laila, Ardian hanya mau dibuatkan kopi dengan gelas miliknya yang telah ia taruh di pantry. Gelas itu seperti cangkir kopi pada umumnya, namun memiliki warna biru cantik dengan list silver di bibir gelas.
Dengan ragu-ragu, ia menuangkan gula ke kopi Ardian, tidak boleh terlalu banyak. Walau pun awalnya kebingungan, Sita memberikan creamer menurut nalurinya, tidak terlalu terasa namun dapat terlihat jika diberi creamer.
Sita membawa kopi buatannya dengan hati-hati ke ruangan Ardian. Dia baru masuk ke ruangannya ketika Ardian telah mengizinkannya masuk. Ruangan Ardian tidak lebih besar dari ruangan yang ia gunakan, namun tetap terasa luas karena hanya digunakan Ardian seorang. Melihat ruangannya saja, Sita bisa tahu jika Ardian orang yang sangat rapi.
"Ini pak kopinya." Sita menaruh cangkir itu di meja Ardian. Ardian yang sedang meneliti sebuah proposal hanya melirik sekilas sebelum berterima kasih dan mempersilakan Sita untuk pergi.
"Habis ngapain kamu?" Hana menatap Sita yang baru keluar dari ruangan Ardian dengan tatapan penuh tanya. Sita mengangkat nampan yang masih dibawanya, menjelaskan tanpa perlu kata-kata.
Setelah mengembalikan nampan pada tempatnya, Sita menghabiskan waktu di mejanya. Beberapa bulan lagi akan ada event besar perusahaan. Itu artinya Sita sebagai divisi manager pemasaran akan menjadi sangat sibuk. Belum memutuskan jenis eventnya saja, banyak hal yang harus dia kerjakan. Namun di kantornya ini, sebanyak apa pun pekerjaan, sangat dilarang untuk dikerjakan di kantor hingga melebihi batas waktu pulang. Katanya sih agar tidak mengambil waktu pegawai dalam berkumpul bersama keluarga. Namun menurut desas-desus yang didengar Hana, itu karena pernah ada yang ketahuan berbuat mesum.
"Sita," panggil seseorang. Sita mendongak dan hampir menjerit saat mendapati Ardian tengah menatapnya tajam.
"I.. Iya, Pak, ada apa?" Sita benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa gugup.
Ardian mengeluarkan sesuatu dari kantong celana bahannya, lalu melemparkannya ke meja Sita. Sebuah karet berbahan kain berwarna hitam. Sita manaikkan alis, tidak paham dengan maksud Ardian.
"Hana sepertinya lupa ngasih tau. Ikat rambut kamu! Saya tidak suka kamu bekerja dengan rambut terurai, kamu itu mau kerja bukan fashion show! Ikat!" titah Ardian membuat Sita melirik ke Hana, yang dilirik hanya memasang wajah bersalah karena lupa memberi tahu. Tapi jika diingat-ingat, Hana memang selalu menata rapi rambutnya, entah itu model braided bun, twisty bun, atau diikat biasa seperti kemarin. Sita menaikkan matanya, tak sengaja berpapasan dengan mata Ardian. Demi melihat Ardian yang masih menatapnya tajam, Hana segera mengambil karet itu dan menguncir rambutnya.
Seusai pegawainya melakukan apa yang dia minta, Ardian mengangguk pelan, lalu keluar dari ruangan mereka setelah meminta Akbar mengikutinya.
"Baru sehari ketemu sama kamu, eh, udah main bentak aja. Kamu kaget banget, ya? Kok diem gitu?" Denis mengamati Sita yang terdiam. Melihat gelagat teman barunya yang sedikit aneh, Hana bangkit dan menghampiri Sita.
"Kamu kenapa, Ta? Kok agak berkaca-kaca gitu?"
"Huaaaaaa," tangis Sita pecah. Hana dan Denis saling bertatapan, lalu menggeleng. "I.. Ibuku aja nggak pernah bentak aku, a..atasanku yang dulu juga lembut. Kok dia bentak-bentak aku sih?" Sita terisak, dia benar-benar takut. Selama dua puluh empat tahun hidup, Sita memang belum pernah dimarahi atau dibentak seperti itu. Selain karena kedua orang tuanya adalah sosok yang lembut, Sita adalah anak baik dan penurut, membuat orang lain tidak memiliki alasan untuk membentak Sita.
"Aduh si Udin! Karyawan baru masuk beberapa hari aja udah dibikin nangis. Udah Ta, jangan nangis! Aku bakal bantu kamu biar dia nggak semena-mena lagi!"
"Bantuin gimana, bege?" Denis menoyor kepala Hana pelan. "Selama ini kan kamu kesel sendiri kalau diapa-apain Ardian, terus bilangnya mau membalas. Tapi apa? Nggak keliatan hasilnya."
Hana mengelus kepalanya sambil menatap Denis galak, kemudian dia menenangkan Sita lagi. Ardian sering membentak Hana, namun berada di keluarga berdarah batak membuat Hana kebal dibentak. Jadi ketika melihat Sita menangis, Hana rasanya kesal sekali pada atasannya itu. Ini kan hanya soal rambut diikat! Memang susah sekali bicara dengan lembut?.
"Udah Sita, berhenti nangisnya! Kalau Udin liat kamu lagi nangis, nanti kamu dikira lemah terus bisa dibentak-bentak seenaknya."
Sita mengangguk mendengar kalimat Hana. Ia mengambil tisu di tas dan mengusap kedua matanya. Hana benar, dia tidak boleh terlihat mudah ditindas di hadapan atasannya itu. Dia akan berusaha membalas sikap semena-mena Udin! Tunggu, U.. Udin?.
"Udin siapa, Han? Yang marahin aku kan Pak Ardian, kok kita balasnya ke Udin?" tanya Sita yang disambut tawa dari Denis dan Hana.
"Iya Ardian. Ardian Bagas Aminnudin. Ardian kan kalau si Pak Bos lagi mode tampan, kalem, berwibawa. Kalau lagi galak, bentak-bentak, nyebelin gitu ya jadi Udin," tutur Hana menahan tawa. Sita jadi ikut tertawa geli, lucu saja membayangkan wajah setampan Ardian dipanggil Udin, yah... sebenarnya tidak ada yang salah dengan nama Udin.
"Pokoknya inget, ya, kamu nggak boleh nangis lagi! Kamu harus siap dengan bentakan demi bentakan yang akan datang, kalau nggak dibentak, minimal bakal disuruh-suruh sampai capek."
Sita mengangguk cepat mendengar arahan Denis. Baiklah, dia akan menebalkan perasaan. Tidak boleh menangis, apalagi jika hanya dibentak, tidak sakit, kan!.
"Kalian ngapain diem kayak gitu?" Suara sedikit hushky milik Ardian sontak membuat tiga orang itu membeku. "Kenapa diam? Hana, balik ke tempat duduk kamu!"
"Eh, I.. Iya, Pak." Hana buru-buru kembali di tempatnya.
"Dan kamu," gertak Ardian pada Sita, "mulai sekarang kamu harus bikini saya kopi setiap hari."
Sita melotot tidak percaya. Baru tiga hari bekerja, pekerjaan Sita sudah banyak, sebanding dengan Akbar yang telah cukup lama di sini. Tapi sekarang Ardian malah membebaninya tugas harian dengan membuat kopi? Astaga! Bukankah ada Laila atau orang lain yang bisa membuatkan Ardian kopi? Kenapa harus dia?!.
***