Everything's a risk.
Not doing anything is a risk.
It's up to you.—Nicola Yoon—
***
"Belajar yang bener kamu!" Wanita cantik itu berjalan dengan langkah terbatas akibat kain batik yang melilit di pinggul sampai mata kaki. Bulan yang berjalan tidak jauh dari belakangnya menatap dengan kewalahan, apalagi saat wanita itu kesulitan melepaskan resleting dompet yang tidak sengaja tersangkut di kebayanya. Di benaknya, kok bisa ya ibunya dan beberapa wanita lainnya betah memakai kebaya lama-lama?
Tentu saja pikiran itu tidak Bulan utarakan kepada ibunya. Takutnya, insiden sebulan yang lalu saat ibunya hendak menghadiri acara pembagian rapot kembali terulang. Pagi itu, Bulan sempat menegur ibunya untuk tidak memakai rok kebaya bercorak batik itu ke sekolah, tapi alih-alih mendengarkan anaknya, ibunya malah memberinya cubitan di pinggang.
"Iki yo cah bagus, kebaya itu nggak cuma dipakai saat ada acara resmi doang. Acara-acara biasa pun kita juga bisa pakai. Emangnya nggak boleh? Lagian, kalau bukan Ibuk yang melestarikan? Siapa lagi?" kira-kira begitu penjelasan beliau dengan logat jawanya yang kental.
Karena melawan perkataan orang tua itu dosa, dan surga berada di telapak kaki ibu, ditambah dirinya belum kepingin berubah jadi batu, maka Bulan cuma bisa mengangguk pasrah dengan keputusan ibunya untuk memakai kebaya ke sekolah. Hari itu Bulan juga harus ekstra menambah stok kesabaran saat teman-teman di sekolahnya bertanya, "Abis kondangan di mana nih, Lan?"
Memang tidak ada yang salah dengan memakai kebaya. Jujur saja, Bulan malah suka ketika seorang wanita memakai kebaya dan menunjukkan rasa bangga ketika memakainya. Seakan-akan kadar kecantikan wanita tersebut bertambah beribu-ribu kali lipat di mata Bulan. Hanya saja, ah bagaimana ya menjelaskannya? Entahlah, Bulan sendiri kebingungan.
"Duh, panas banget ya sekolahanmu ini? Padahal banyak pohon lho, udah kayak di hutan." Kipas tangan lipat dengan motif bunga-bunga hasil souvenir nikahan kerabatnya masih bergerak-gerak selagi pandangannya sibuk meneliti ke arah murid-murid yang berlalu-lalang di sekitar lapangan upacara, "Udah jam istirahat ya emangnya?"
"Iya. Tadi kan bunyi bel."
Langkah mereka terhenti ketika mencapai gerbang utama sekolah, Bulan dan ibunya tidak banyak bicara lagi, mereka hanya berdiri dan menunggu. Sebelumnya, Bulan sudah menelepon salah satu pengemudi ojek pangkalan yang berada di depan jalan raya untuk mengantar ibunya.
SMA Adibrata memang berada di dalam kawasan perumahan, jadi untuk mencapai jalan raya murid-murid harus berjalan kaki sekitar 5 sampai 10 menit. Ojek pangkalan hanya ada di depan SMA Adibrata pada jam pulang sekolah. Saat pagi mereka biasanya menunggu pelanggan tepat di jalan raya yang memang mau diantarkan ke sekolah atau ke rumah mereka di daerah kompleks sini. Kalau waktu sudah menunjukkan jam pulang sekolah, ojek-ojek itu baru bermunculan. Beberapa tukang ojek yang sudah dekat dengan pelanggannya juga sering bertukar nomor telepon sehingga pelanggannya bisa memanggil untuk menggunakan jasanya kapan saja, seperti yang Bulan lakukan tadi.
"Nih, cukup kan buat makan siang?" Bulan yang menerima selembar uang berwarna hijau dari ibunya cuma mengangguk senang. "Ya udah, Ibuk pulang dulu. Nggak usah neko-neko lagi kamu itu ya, duit Ibuk udah ludes buat bayar denda! Awas aja kalau Ibuk ditelepon lagi."
"Iya iyaaa. Maaf, Bulan khilaf." Bulan mencium tangan ibunya sebentar sebelum ibunya naik ke atas motor. "Hati-hati, Buk," tukasnya.
Setelah motor tukang ojek yang membawa ibunya menghilang dibalik belokan, Bulan masih setia berdiri di sana. Suara angin berembus dan kerisik daun yang bergesekan di atas pohon menjadi latar belakang suasana saat ini. Laki-laki itu memejamkan mata sembari menghirup napas dalam-dalam, membuatnya seketika merasakan ketenangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPARAN
Teen FictionKumparan dalam kelistrikan dan elektronika adalah gulungan lilitan kabel atau kawat yang berfungsi untuk menimbulkan medan magnet. Di SMA Adibrata, Kumparan adalah sebutan yang digunakan untuk sekumpulan laki-laki berparas tampan dan juga rupawan. K...