Bab 1

487 69 134
                                    

Pekerjaannya tak pernah lepas dari segala hal berbahaya, memiliki banyak musuh yang selalu mengincar. Kali ini Alex tak bisa menghindar, tubuhnya kebas. Mobilnya ringsek diterjang dari arah depan dan belakang.

Hal yang agak disesalinya karena menolak untuk dikawal pada transaksi kali ini. Biasanya, walau hanya sendiri Alex mampu menangani sebanyak apapun orang yang mencari masalah. Namun, ketika diserang saat berkendara pada jalanan sepi ini, ia sungguh gagal.

Orang-orang itu sepertinya memang sudah merencanakan sejak lama. Mereka menyiapkan sebuah mobil derek untuk menghilangkan barang bukti. Meninggalkan Alex sendiri dengan keyakinan jika penguasa itu mati di tempat.

Namun, tak semudah yang mereka bayangkan untuk mengambil nyawa seorang Alexander Abraham. Bahkan, Tuhan masih berpikir beberapa kali untuk mencabut nyawanya. Ia berusaha keluar dari mobil yang bagian depannya sudah berasap karena benturan yang cukup keras.

Kaki pria itu terluka cukup parah, dahinya tak henti mengeluarkan cairan kental berbau amis. Mata Alex kian berat, tetapi ia tak akan mati hanya karena ini. Orang-orang yang berniat membunuhnya harus dibalas, mereka tidak boleh dibiarkan tenang begitu saja.

Alex akhirnya berhasil keluar, menyeret kakinya agar menjauh dari mobil yang kini sudah memercikkan api. Sakit yang ia rasakan tidak seberapa, menguatkan diri sendiri, tetapi segalanya memang tak bisa dipaksakan. Tubuh pria itu limbung karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

Ia masih berusaha untuk mencapai sebuah pohon besar yang bisa dijadikan tempat sandaran istirahat. Jika beruntung, Alex bisa ditemukan oleh anak buahnya sesegera mungkin. Saat ini, rasa lelah semakin mendera dan ia memilih memejamkan mata sejenak di bawah pohon.

Di saat Alex tenggelam dalam alam bawah sadar, mobil yang ia tinggalkan meledak. Mengejutkan beberapa orang yang memang tinggal di sekitar jalan tersebut. Mereka berhamburan keluar dan melihat api yang sudah melahap range rover pria itu tanpa mengetahui keberadaan pemiliknya.

"Oh!" Seorang gadis yang sekiranya berusia dua puluh tahun berseru kecil ketika mengedarkan pandangannya tanpa disengaja. Ia perlahan mendekati sosok yang bersandar di pohon besar tersebut.

Ia menepuk pelan pipi pria itu, mengusap darah yang menodai wajahnya. Hal itu cukup mengganggu Alex yang baru beristirahat sekitar lima belas menit. Perlahan, manik abu-abunya terbuka, menatap sepasang mata bulat yang memancarkan kepolosan.

"Sakit?" tanya gadis itu sembari mengelus luka yang ada di dahi Alex, membuat pria itu meringis. "Maaf." Ia pun menundukkan kepala merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Siapa namamu?"

"Aku Joanna," jawab gadis itu dengan senyum ceria, ia paling senang memperkenalkan diri pada orang lain karena menurutnya hal itu dapat menambah teman.

"Bagaimana kau bisa di sini?" Suara Alex begitu lirih, tetapi masih dapat didengar oleh Joanna.

"Ada suara 'boom' dan semuanya keluar. Mobil meledak di sana." Joanna menjelaskan sebisanya dan menunjuk ke arah mobil Alex yang memang sengaja ditinggalkan, pria itu mengangguk mengerti.

Tak lama terdengar teriakan memanggil Joanna. Gadis itu ingin menolong Alex, tetapi ia tak bisa. Dengan berat hati, Joanna pergi ke arah suara orang yang memanggilnya. Namun, sebelum itu ia memberikan boneka kesayangannya pada Alex untuk menemani pria itu agar tidak kesepian.

Alex hanya menatap siluet gadis itu yang perlahan menghilang. Ia mengalihkan perhatian kembali pada sebuah boneka kelinci lusuh berwarna putih ini. Entah, bagaimana bisa pikirannya melayang pada satu hal yang tak pernah Alex bayangkan? Mustahil baginya.

Menggeleng pelan, mengenyahkan segala pikiran tersebut. Alex menggunakan boneka kelinci putih itu sebagai bantal sandarannya. Sekarang yang dipikirkan hanya kembali dan membalas mereka yang nekat melawannya.

Ia melihat jam tangan yang masih melekat, sudah sekitar setengah jam berada di sini. Jika saja ponselnya tidak tertinggal dalam mobil itu. Seharusnya tak lama lagi Simon tiba, tetapi udara seakan mulai menjauh. Napasnya kian berat, tubuhnya seakan tak bertulang. Sial! Baru kali ini Alex merasa benar-benar lemah.

Saat matanya ingin kembali terpejam, Alex menangkap sinar dari kejauhan. Ia sangat yakin jika itu adalah Simon dan anak buahnya yang lain. Tak lama, dua mobil berhenti di dekat range rover yang terbakar. Empat orang keluar dari dua mobil tersebut, mereka mengecek area sekitar. Ingin Alex memanggil anak buahnya itu, tetapi sayang suara yang ia keluarkan sangat kecil. Hingga salah satu dari mereka semakin dekat.

"Sam!" lirih Alex memanggil nama anak buahnya itu.

Pemilik nama yang merasa terpanggil pun mengedarkan pandangan. Sam sangat yakin mendengar suara bos besarnya, walau begitu pelan. Matanya tertuju pada sebuah pohon besar. Di sana, seseorang yang ia cari berada.

"Sir!" Seruan Sam mengundang reaksi anak buah Alex lainnya.

Satu dari mereka mengikuti Sam setelah memberi perintah terlebih dahulu pada yang lain. "Maaf kami terlambat, Sir," ujarnya begitu sampai di depan Alex dan meringis melihat keadaan pria itu.

Alex sendiri hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Kemudian, ia dipapah oleh Sam menuju mobil yang sudah berhenti di depan mereka. "Bawa boneka itu, Simon!" perintahnya sebelum memasuki mobil.

Simon yang mendapat perintah membawa boneka hanya mengernyit heran. Sejak kapan bos besarnya ini memiliki boneka? Ah, tetapi ia harus tetap menjalankan perintah. Terlebih melihat keadaan Alex yang sangat perlu mendapat perawatan, ia tidak ingin memikirkan hal aneh lainnya.

***

Joanna pagi ini begitu bersemangat. Setelah menyelesaikan semua tugas, ia bergegas keluar rumah. Tujuannya hanya satu, melihat keadaan pria yang semalam ia titipkan Bunny —boneka kesayangannya—. Namun, begitu sampai di pohon besar itu Joanna harus menelan kekecewaan. Pria tersebut sudah tak ada.

"Tidak ada Bunny," lirihnya.

Gadis itu berjongkok, bersandar pada pohon yang kemarin menjadi tempat pertemuannya dengan teman baru. Joanna menyembunyikan wajah di balik lutut. Perlahan, isak tangis meluncur begitu saja. Lagi-lagi ia ditinggalkan, bahkan sekarang Bunny pun ikut pergi.

"Kenapa tidak ada yang mau menjadi temanku? Semua pergi," ucapnya di sela isak tangis. Tidak ada yang mengerti perasaannya. Joanna hanya ingin berteman, apa itu salah?

Sebuah elusan lembut pada surai karamelnya mengejutkan Joanna. Gadis itu mendongak perlahan dan melihat sosok yang dicari tadi berdiri tegap di hadapannya bersama Bunny. Sontak ia berdiri dengan pipi yang masih basah dengan air mata. Maniknya mengerjap pelan, tak percaya dengan yang dilihat.

Beberapa detik terdiam, senyum ceria kembali menghiasi wajah Joanna. Binar matanya seakan begitu memuja pria ini. Ternyata ia tidak ditinggalkan, Bunny pun kembali. Joanna menghambur ke pelukan pria itu, menenggelamkan wajah pada dada bidang itu.

"Kau kembali." Kalimat itu diulang beberapa kali oleh Joanna, diikuti tawa kecil nan merdunya. Masih sambil memeluk, ia mendongak. "Siapa namamu?"

"Alex." Jawaban singkat pria ini tak menyurutkan senyum Joanna. Bagi gadis itu, teman adalah segalanya.

"Alex adalah temanku," seru Joanna riang.

"Bukan, Joanna. Aku bukan temanmu." Ucapan Alex berhasil menghilangkan keceriaan gadis itu.

Manik bulat Joanna sudah kembali berkaca-kaca, ia tidak siap kehilangan. "Kenapa?"

Seringai terbit di bibir tebal Alex, ia tak menyangka gadis ini benar-benar terlalu lugu. "Kau ingin kita berteman?" Joanna mengangguk cepat menjawab pertanyaan tersebut. "Maka ikutlah denganku!" 

JOANNA (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang