Gemuruh ombak disertai angin melambai menjadi kesatuan paling tepat dalam menenangkan pikiran. Segala kepenatan yang menguasai seolah menguap begitu saja. Hanya ini hiburan terbaik yang selalu ampuh.
Pria berambut pirang dengan tubuh atletis berwarna sedikit kecokelatan tersebut masih asik berjemur. Mengundang tatapan kagum dari tiap wanita yang lewat. Bahkan, beberapa dari mereka menghampiri dan dengan berani meraba biseps pria itu.
Namun, sebuah kesalahan sudah mereka lakukan. Pria itu tidak pernah menyukai tubuhnya disentuh oleh sembarang wanita. Ia termasuk tipe yang pemilih. Terlebih lagi, wanita-wanita ini tidak sebanding dengan sosok yang ia amati beberapa waktu belakangan.
"Pergilah, wanita!" Suara berat disertai nada intimidasi dari pria itu dengan mudah berhasil mengusir para wanita. Ia mengambil minuman yang memang tersedia di meja, menatap lurus ke lautan luas.
"Rupanya benar kau di sini, Marcello." Seorang pria lain duduk di seberangnya dan menyerahkan sebuah kertas.
Tanpa menunggu lama, Marcello membaca informasi yang tersedia dan menyeringai. Ini saatnya, mereka harus segera bertindak sebelum Abraham. Pria itu yakin jika rencana yang ia susun akan berjalan dengan baik. Namun, ada satu hal yang harus dipastikan.
"Dari mana kau mendapat informasi ini, Devano?"
"Tenanglah! Informanku pasti akurat."
Marcello hanya berharap kalau informasi ini tidak merugikannya. Ia sudah membayangkan kehancuran Abraham. Dirinya tidak menerima sedikit pun kesalahan. Karena rencana yang ia susun mendatangkan beberapa keuntungan jika semua berjalan sempurna.
"Kau benar-benar yakin melakukannya?" Devano sebenarnya sedikit ragu dengan rencana kakak sepupunya tersebut. Selain karena mereka berada di wilayah musuh, risiko dari rencana ini sangat besar.
Devano tahu jika Marcello sangat marah karena markas terbesarnya dihancurkan oleh Abraham. Ia juga berpikir jika saat ini mereka hanya memiliki satu peluang. Karena kalau sampai kesempatan itu disia-siakan entah kapan lagi mereka dapat menjatuhkan kelompok terbesar di San Fransisco tersebut.
"Jangan pernah meragukan keputusanku, Devano!"
"Ya, maafkan aku. Jadi kapan kau bergerak?"
"Sesuai isi surat ini," sahutnya.
Sejujurnya, Devano tidak terlalu ingin berurusan dengan Double A. Namun, sampai sekarang ia tidak berhasil mengetahui keadaan kekasihnya. Pria itu hanya tahu jika wanitanya adalah kakak angkat dari istri Alexander Abraham dan dibawa oleh mereka karena menyiksa sang adik.
Ketika Marcello mengatakan ingin menghancurkan Double A, maka ia pun dengan semangatnya mendukung. Pria itu tanpa pikir panjang menyatakan ikut serta dalam rencana tersebut. Namun, jika dipikir ulang kembali Devano sendiri merasa sangat bodoh.
Apakah aku begitu mencintainya sampai rela mengorbankan nyawa?
"Tidak ada kesempatan untuk mundur!" Marcello menegaskan kepada saudara sepupunya yang labil tersebut.
Ia tidak pernah menyukai ada orang-orang terdekat yang ragu dengan rencananya. Karena selama tujuh tahun memimpin Nostra, pria itu sudah berhasil menjadikan kelompok mereka sebesar sekarang. Sayang, Alexander lagi-lagi kembali menjadi sosok yang mengganggu kehidupannya. Namun, kali ini Marcello yakin dapat menang.
***
Audrey sudah selesai mendandani Joanna untuk melewati hari bersama. Mereka butuh waktu untuk berbelanja dan semua hal yang berhubungan dengan gaya hidup wanita. Karena selama dua minggu sejak kepulangan mereka ke San Fransisco tidak pernah ada waktu untuk bersenang-senang.
Luka Joanna sudah mengering setelah seminggu dirawat dengan begitu telaten oleh Alex. Namun, pria itu mengurung istrinya di kamar seminggu berikutnya sebagai pengganti bulan madu mereka yang berantakan.
Audrey sendiri sempat mengingatkan Alex jika ia harus lebih hati-hati terhadap Joanna. Gadis itu masih terlalu polos dan baginya sudah seperti adik yang harus dilindungi. Menurut wanita tersebut, Alex adalah serigala buas yang siap menerkam si kerudung merah kapan pun dan di mana pun.
Namun, ia juga mendapat nasihat dari Sam untuk tidak terlalu khawatir terhadap Joanna. Alex sangat menyayangi gadis itu jadi tidak mungkin menyakitinya. Pada akhirnya Audrey hanya bisa pasrah menunggu.
Ada sebuah harapan besar dari seluruh anggota Double A. Mereka ingin kehadiran seorang penerus Abraham, sehingga semuanya mendukung segala tindakan Alex. Ya, Audrey pun berharap hal yang sama agar kakaknya itu juga bisa mendapat kebahagiaan melalui sebuah keluarga kecil.
"Ayo, Joanna!" Audrey menarik gadis itu yang sedang berpamitan kepada Alex. Pasangan satu ini tidak pernah tahu tempat yang tepat untuk bermesraan. Terlebih kakaknya seolah masih ingin mengurung sang istri.
"Jaga dia, Audrey! Waspada terhadap siapa pun!" Alex benar-benar berat harus melepas Joanna. Wanitanya terlalu mempesona bagi setiap mata yang melihat. Terlebih dengan segala kebaikan dari istrinya tersebut akan sangat mudah untuk dimanfaatkan.
"Tentu!" teriak Audrey dari luar karena mereka kini menunggu supir yang siap mengantar ke mana pun.
Alex menyusul dan memperhatikan keduanya yang sudah menjauh. Mobil melaju melewati mansion megah Abraham dan berbaur dengan keramaian kota. Audrey dan Joanna saling berbagi cerita setelah sekian lama. Mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk bertemu selama dua minggu belakangan.
Mereka kini berada di salah satu pusat perbelanjaan. Audrey membawa Joanna memasuki beberapa toko dan membelikan banyak pakaian. Sebagai seorang mafia, bukan berarti ia menjadi wanita kaku yang tak mengerti fashion.
Keduanya sudah membawa beberapa kantong belanjaan dan sekarang perut mereka meronta minta diisi. Audrey mangajak Joanna memasuki restoran Jepang yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.
Setelah menikmati makanan dari negara matahari terbit tersebut, Audrey mengajak sang kakak ipar bersantai di salon. Mereka perlu perawatan setelah melewati hari-hari yang melelahkan. Terlebih Joanna yang sudah mengalami berbagai hal berat.
Hari yang mereka lewati tak terasa hingga waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Matahari sebentar lagi terbenam dan mereka harus segera pulang atau Alex akan memarahi Audrey karena terlalu lama mengajak istrinya pergi. Bahkan bisa jadi pria itu menyusul mereka tak lama lagi.
"Lelah?" tanya Audrey begitu mereka sudah memasuki mobil dengan supir yang masih setia menunggu. Joanna mengangguk sebagai jawaban, beberapa kali gadis itu menguap.
Selama perjalanan, mereka kembali saling bercerita tentang keseruan hari ini. Tiba-tiba saja Joanna memajukan tubuhnya, menatap ke arah sisi jendela Audrey. Wanita itu mengikuti arah pandang kakak iparnya dan tersenyum.
"Kau mau?"
"Ya!" Joanna memekik senang, ia menginginkan es krim yang ada di pinggir jalan tersebut. Penjualnya memutar-mutar cone dan melempar es krim itu ke atas dengan tepat sasaran.
"Aku akan membelikannya untukmu, tunggu di mobil, oke?"
Kakak iparnya tersebut mengangguk cepat, menyrtujui ucapan Audrey asal ia berhasil mendapatkan es krim. Tanpa menunggu lama, Audrey keluar dari mobil dan menyebrang. Ia sesekali menoleh saat membeli es krim, tetapi dalam sekejap semua menghilang. Sial!
KAMU SEDANG MEMBACA
JOANNA (Sudah Terbit)
General FictionSebuah pertaruhan yang dipilih Alex membawa Joanna masuk ke lingkaran hidupnya yang berderak. Namun, ternyata keputusan Alex salah. Dia harus melalui segala rintangan yang terus melibatkan Joanna sampai gadis itu mendapat masalah besar. Akankah mere...