Seharusnya Aku

3.2K 249 3
                                    

Bisa melihat hari esok itu saja sudah menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi diriku ini

Aku mencoba untuk mempertahankan keseimbangan ku dengan berpegangan pada tiang halte. Tapi sial, kaki ku justru tak ingin di ajak kompromi. Tubuh ku lunglai menyentuh aspal. Pandangan ku memburam, sebelum kesadaran ku benar-benar lenyap. Aku yakin ada beberapa orang yang mengerumuniku. Suara mereka hanya dengungan keras di kepalaku.

🍁🍁🍁🍁

Kepalaku terasa sangat berat, mataku bahkan sangat sulit untuk dibuka, dan seluruh persediaan ku terasa ngilu di sertai rasa nyeri yang tak karuan.

Bangun aku harus bangun, setidaknya aku harus hidup sampai bisa melihat ibuku.

Kata kata itu berhasil membuatku membuka mata lebar lebar. Bau obat obatan menyeruak masuk menusuk indra penciuman ku, belum lagi aku harus menyesuaikan cahaya yang masuk ke rentina mataku. Benar-benar menyilaukan.

Telingaku mendengar sayu sayu orang berbicara di luar, terdengar seperti seorang wanita yang menangis dan seorang pria yang tegah menenagkannya. Aku tak begitu bodoh untuk mengenali suara itu, itu adalah suara bunda dan kak Arik. Alasan bunda menangis pasti karena kondisi ku sekarang. 

Lihatlah aku terbaringg di brankar rumah sakit tanpa bisa melakukan apa apa, untuk bisa bernafas saja aku membutuhkan masker oksigen yang menunjang hidupku. Mendengar bunda menangis selalu saja lebih menyakitkan dari pada rasa sakit ini. Jujur aku selalu lelah dengan semua tangisan itu, tapi aku juga tak dapat menghentikan mereka.

"bunda nggak bisa Rik lihat dia kayak gitu, bunda terlalu sayang dengan dia. Kenapa dia harus menderita seperti itu."

Astaga Tuhan apakah kondisiku sekarang benar benar memburuk. Padahal baru saja aku ingin berangkat sekolah, tapi kenapa aku harus terbaring disini lagi. Apakah serusak itu tubuhku tuhan?

Tanpa ku sadari air mata telah turun dari manik hitam mataku, aku tak bisa menyekanya. Toh jika ku seka air mata itu tak akan pernah berhenti.

Dan sekarang dadaku mulai naik turun tak beraturan pernafasanku mulai terganggu. Aku mulai kesulitan untuk mengambil oksigen. Keringat mulai membasahi pelipis ku, padahal ruangan ini cukup dingin untuk ku.

"sayang kamu kenapa sayang?" tanya bunda dengan raut wajah begitu khawatir saat melihat ku kesusahan untuk bernafas.

Sementara itu aku terus mengegam erat tangan bunda, aku takut! Aku takut rasa sakit ini terus mempermaikan ku dalam kesemuan tanpa batas. Aku takut saat tak bida melepas kalian dan juga penyakit ini.

"Dava denger kakak! tarik napas pelan - pelan, hembuskan perlahan " Kak Arik masih dengan wajah tenangnya, mencoba memberi sedikit pertolongan padaku.

Aku mencoba melakukan semua yang Kak Arik ucapkan. Pertama aku kesulitan untuk melakukannya dan dadaku masih saja sesak tak ketulungan. Tapi setelah aku mencoba beberapa kali, hasilnya mulai terlihat aku bisa bernapas dengan normal lagi, dan rasa sesak itu mulai pergi.

"bagus" ucap Kak Arik sambil mengusap surai ku pelan.

"sayang kamu istirahat ya, kamu kan baru bangun. Bunda keluar dulu ya"

Aku mengenggam tangan bunda, agar bunda tak pergi dari sini. Aku ingin bunda ada disini karena aku takut.

Bunda tersenyum sendu menatapku, kemudian bunda segera menarik  kursi plastik lalu duduk sebelah ku dan mulai mengelus pelan kepalaku. Memberi kenyamanan dan kehangatan bagiku.

Sementara itu Kak Arik sudah keluar dari ruang rawat ku. Aku tak tahu kenapa? Hanya wajah memerah yang dapat ku lihat saat Kak Arik pergi. Aku harap dia tak goyah dengan keadaan ku. Jika Kak Arik saja goyah, nanti siapa yang akan menenangkan bunda?

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Sudah hampir seminggu aku berbaring di sini, seminggu pula bunda menjagaku tanpa henti. Seminggu pula aku melihat bunda, Kak Nada, Kak Arik berderai air mata.

Hari ini Kak nada menemaniku disini, sambil membuat tugas kuliah katanya. Kak Nada begitu serius menatap layar laptopnya, membuatku tak berani menganggu nya.

Satu jam

Dua jam

Tiga jam

Sudah hampir tiga jam Kak Nada berada di depan layar laptopnya, dan sekarang dia sepertinya sudah selesai. Kak Nada memasukan laptopnya dan sekarang dia mulai beralih memandang ku,dan mengengam jari jari kurusku ini.

"maaf ya dek, seharusnya kakak ngajak kamu ngobrol bukan malah sibuk dengan tugas kakak sebdiri kyak gini" ucapnya sambil sesekali menatapku.

Seharusnya aku yang minta maaf kak.

" a-ku ng-gak pa-pa" ucap ku dengan terbata bata. Itu pun aku harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengucapkanya. Akhir akhir ini aku memang kesulitan untuk bicara, entah kenapa? Mulut ku terasa begitu kelu untuk berucap kata. Tak jarang aku lebih suka sedikit menyunggingkan senyum untuk menjawab kata-kata mereka..

"cepet sembuh dek, Shira rindu kamu katanya"

Aku hanya tersenyum

Lagi lagi Shira selalu memperhatikan ku, entah kenapa anak itu tak pernah sakit hati saat aku mendengar kata kata yang menusuk keluar dari Mulut ku. Mungkin dia sudah kebal dengan itu semua.

" besok hasil pemeriksaan mu keluar dek, semoga hasilnya bagus "

Nggak kak jangan berharap hasilnya bagus, karena itu tidak mungkin terjadi. Tubuhku ini rusak parah kak.

🍁🍁🍁🍁

Hari esok telah datang di sambut dengan hangatnya mentari dan sejuknya angin pagi.

Aku telah membuka mataku sejak  pukul dua pagi. Itu pun karena rasa sesak di dadaku yang muncul tiba tiba, entah darimana datangnya. Tapi beruntung karena serangan itu tak berlangsung lama.

Kak Nada bilang dia akan datang pukul 09:00 bersama bunda ke sini. Berarti aku masih punya waktu dua jam untuk mempersiapkan hatiku. Aku harus siap apapun hasilnya.

Cklekkk

Suara pintu terbuka dan ku lihat seorang suster rumah Sakit datang menghampiriku.

"udah bangun dari tadi ya dek, kok tumben nggak ada yang nunggu" tanya suster itu sambil menyuntikan entah cairan apa kedalam infusku.

"i-ya, bun-da la-gi is-ti-ra-hat"

"ohh, mau di temenin dek" tanya suster itu. Dan kemudian ku jawab dengan gelengan kepala.

"saya tarus sarapannya disini ya dek. Oh iya kamu kelas berapa kok mukanya masih baby face gitu"

Aku tersenyum tipis lantas menunjukkan jari tanganku ke sang suster.

"udah kelas 3 SMP toh. Adik saya juga seumuran kamu, sekarang dia lagi sibuk belajar sampai lupa makan"

Aku beralih menatap keluar jendela. Hatiku berdenyut nyeri, seharusnya sekarang aku juga bersekolah. Mempersiapkan segala kebutuhan untuk menghadapi ujian. Bukan malah disini! Seharusnya aku bersama murid murid lain, merajut masa depan mereka di bangku sekolah bukan brankar pesakitan seperti ini.

De Historia In Vita MeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang