3. Kalimat Racun

504 108 39
                                    

Dikey langsung masuk ke dalam kamarnya. Katanya sebelum berangkat mendatangi bus, ia belum sempat mandi. Bangun kesiangan. Pantas saja sedari tadi Shua mencium aroma tak sedap.

Jadi intinya, Dikey terlambat datang bukan karena ada kecelakaan di jalan, atau supirnya sedang jatuh sakit. Tapi karena ia terlambat bangun.

Untuk mengaku terlambat bangun saja, harus bicara putar-balik seperti ini. Shua sempat memarahi Dikey tadi. Gadis itu sudah menangkap kebohongannya. Tapi, karena mereka memang sudah terlanjur gagal mengikuti camping, apa boleh buat. Lanjut saja acara menginapnya.

Shua lihat isi kulkas Dikey sangat lengkap. Ditambah lagi Bu Sri bilang kalau ingin sesuatu dan tidak ada dalam kulkas, tinggal bilang saja. Nanti akan dibelikan. Apa Shua terlihat sangat rakus?

Berkat tawaran Bu Sri tadi, ia pikir isi kulkas di rumah itu akan kosong-melompong. Seperti kulkas di rumahnya.

Bikin sup ikan sepertinya enak. Kebetulan di luar tengah hujan lebat. Tuhan tengah berpihak pada Shua dan Dikey. Melarang mereka berdua ikut berkemah, lalu menurunkan hujan saat rombongan pasti tengah diperjalanan. Tanah di bukit jadi becek. Mereka pasti kesulitan cari tempat untuk mendirikan tenda.

"Memangnya bisa masak?" Tanya Dikey.

Dia tiba-tiba ada di belakang Shua. Suaranya yang merendah, bicara tepat di telinga Shua, membuat bulu kuduk gadis itu merinding. Bahkan lebih menyeramkan dari film horror yang sudah pernah mereka tonton. Judulnya Dendam Nenek Gayung. Shua sempat tidak berani tidur sendiri gara-gara film itu. Sebagai solusi, ia menyambungkan telepon ke Dikey sampai benar-benar tertidur. Dikey yang memutuskan sambungan telepon mereka, begitu mendengar suara Shua yang mengorok atau tidak lagi menyahut kalau ditanya.

"Sudah berapa lama kita berteman?" Sahut Shua.

Tidak salah, bukan? Rasanya aneh kalau Dikey tidak tahu. Mungkin dia hanya pura-pura tidak tahu dan terkejut. Shua sudah jutaan kali mendatangi rumahnya. Terkadang ikut Bu Sri menyiapkan makanan. Atau malah ikut membantu Mama Dikey yang sedang memasak.

"Berapa lama, ya?" Dikey menampilkan wajah penuh tanda tanya. Menggaruk pelipisnya, sok berpikir. Padahal yang Shua tahu, laki-laki ini paling malas berpikir. Semua tindakan ia ambil berdasarkan kemauan saja. "Dua tahun?"

"Dua tahun apanya?" Suara Shua meninggi. Mereka sudah bersama sejak masih kanak-kanak, bagaimana bisa Dikey menganggap persahabatan mereka baru selama dua tahun?

Dikey mencubit hidung Shua. Ditariknya, sampai si gadis mengerang dan berontak. Dikey tidak kira-kira melakukannya. Hidung Shua jadi sakit.

Dikey memang sering bilang, ia melakukan ini supaya hidung Shua tidak kalah mancung dari hidungnya. Tapi rasanya menyebalkan juga. Secara tidak langsung ia bilang bahwa hidung Shua pesek.

"Makanya dengarkan dulu, jangan langsung menyahut," omelnya. "Maksudku dari kita berumur dua tahun. Benar, kan?"

"Iya, kah?" Shua balik bertanya. Mematikan kompor, mengaduk sup ikan tadi, sebelum ditutup pancinya. Supaya tetap hangat. "Yang aku tahu sebelum kita masuk taman kanak-kanak."

Dikey menggeser tubuh kecil Shua, menyerobot. Mendatangi panci tadi. Membuka tutupnya, merebut sendok yang masih ada di tangan Shua. Ia tidak mengeluarkan komentar apa pun begitu mencium aroma yang menyeruak keluar. Hanya mengaduknya beberapa kali, lalu mencicipinya sedikit.

Terdengar kecapan dari mulut Dikey. Kepalanya mengangguk teratur. Mungkin karena merasa kurang puas hanya dengan mencoba menyuap kuah tanpa isi. Ia coba ambil lagi, tapi juga motong sedikit bagian daging ikan gurame. Kecapan dari mulutnya semakin terdengar dengan jelas.

Padahal sedari tadi Shua menunggu komentarnya. Tapi kalau dilihat dari reaksi Dikey saat menyuap daging ikan, masakan Shua tidaklah buruk. Sepertinya Dikey suka dengan masakan Shua.

Mata gadis berkaus tipis warna biru muda itu fokus pada bibir Dikey yang masih mengecap. Sayuran yang ada di sana, semuanya dicoba. Shua tahu Dikey hanya menyukai sayur kol dan wortel. Benci daun bawang dan seledri. Jadi Shua hanya memasukkan dua jenis sayur itu untuk sup ikan kali ini.

Shua tidak mengerti. Tapi menurutnya, bibir Dikey yang tengah bergerak teratur untuk menyuap masakannya sungguh menyita perhatian. Shua sangat suka dengan bibir penuhnya yang naik turun, untuk mencoba makanan yang sudah ia buat.

"Ayo kita makan!" Ujar Dikey bersemangat.

Shua sedikit mundur, usai Dikey berteriak lantang. Memperhatikannya yang nampak sungguh bersemangat mengalihkan beberapa piring dan mangkuk ke atas meja makan.

"Kenapa diam? Tidak mau makan?" Tanya Dikey.

"Kan aku yang masak," protes Shua. "Berarti aku yang harus makan paling banyak!"

Shua langsung mendatangi panci berukuran sedang tadi, tempatnya membuat sup ikan. Hendak mengangkatnya ke atas meja makan.

"Aku saja!" Lagi-lagi Dikey bicara dengan suara yang lantang. Shua sudah tidak heran. Sebagian besar acara komunikasi mereka, Dikey memang paling senang bicara dengan volume tinggi. "Mundur, pancinya masih panas. Kamu ambil sendok-garpu saja."

Rumah Dikey rasanya seperti rumah Shua sendiri. Sudah tidak terhitung berapa kali ia datang ke sana. Dikey tidak pernah menjelaskan di mana letak suatu barang. Shua akan berjalan sendiri untuk mengambilnya. Ia sudah sangat hafal dengan rincian setiap sudut rumah Dikey.

Mereka duduk berhadapan di meja makan. Dikey juga sempat mendatangi Bu Sri di dalam kamarnya, mengajak untuk makan siang bersama. Tapi Bu Sri menolak. Dia masih sibuk dengan acara menyetrika beberapa pakaian Dikey di dalam sana.

Sepertinya itu hanya alasan. Beliau memang selalu memberi mereka ruang hanya berdua. Berbeda dengan Mama Dikey yang selalu menjadi pembatas keduanya, setiap Shua berkunjung.

Bukan pembatas karena tidak percaya dengan mereka berdua. Tapi Mama sudah seperti Mom. Beliau mengajak Shua mengobrol hal-hal ringan, apa saja yang ia kerjakan saat tidak berkunjung ke rumahnya. Sama persis seperti Mom yang bertanya apa saja yang Shua kerjakan selama berada di luar rumah. Shua jadi punya kewajiban untuk bercerita dua kali. Pada Mama, lalu pada Mom.

Mama bilang kalau Shua bebas, kapanpun boleh berkunjung ke sana. Mau menginap pun boleh, asalkan tidak satu ranjang dengan Dikey. Mama Dikey bilang kalau anaknya punya hormon lebih. Bahaya untuk Shua. Dikey pernah dihukum Mama beberapa kali, karena ketahuan menyimpan majalah dewasa. Ponselnya disita satu minggu penuh. Padahal menurut Shua wajar. Wajar saja laki-laki dewasa seperti Dikey menyimpam majalah seperti itu. Usianya juga sudah legal. 21 tahun. Hanya lebih tua tidak sampai dua bulan dari Shua.

Shua baru menyuap makanannya beberapa kali, ternyata Dikey sudah bangkit saja dari kursinya. Mengambil nasi tambahan.

"Kamu juga mau nambah?" Tawar Dikey.

Shua menggeleng. Piringnya masih penuh. Belum sampai setengahnya ia makan. "Sudah berapa lama kamu tidak makan?"

Dikey tertawa. Mengambil satu potong ikan lagi. Tidak tanggung-tanggung, ia mengangkat panci sup, lalu membalikkan kuah sup ke dalam piringnya hingga penuh. Nafsu makannya sedang baik. "Masakanmu enak. Kalau kita menikah, aku pasti gemuk nanti."

Darah Shua berdesir hebat. Dikey baru saja mengucapkan kalimat racun. Shua paling tidak sanggup kalau Dikey sudah bicara seperti ini.

"Shua, aku sangat sering berkhayal kalau kita akan menikah nantinya. Punya anak yang banyak." Lalu tertawa sejenak. "Rasanya sangat aneh."

Tapi sepertinya akan sangat menyenangkan. Aku mau.

Mereka sudah terlalu dewasa untuk memainkan permainan anak-anak. Shua tidak mau. Ia sudah bosan dipanggil adik kecil. Tapi Dikey seperti sudah menolaknya. Bermain secara dewasa, lalu kembali lagi ke dalam mode anak-anak.

TBC
03.01.2019

Dear My Friend (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang